DISIPLIN ROHANI dan LEGALISME

>> Kamis, 06 Agustus 2009

Bacaan Alkitab : Matius 5 : 17 – 20
Para pemuda yang dikasihi oleh Tuhan Yesus Kristus,
Jika perikop di atas kita baca sepintas lalu, maka kita dapat mengatakan, bahwa dari seluruh Khotbah yang diucapkan Yesus di bukit, maka perikop tersebut di atas merupakan pernyataan Yesus yang paling mengherankan dan membingungkan. Betapa tidak ? Mari kita perhatikan dengan seksama !
Yesus mengatakan di dalam Matius 5 : 19 demikian, “…siapa yang meniadakan salah satu hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga.; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga.” Dengan kata lain, Yesus seolah-olah menempatkan hukum Taurat itu begitu suci, sehingga tidak ada bagian yang terkecilpun yang akan ditiadakan. Namun dalam berbagai peristiwa yang kita baca di dalam Alkitab memperlihatkan, bahwa Yesus seringkali melanggar hukum Taurat Yahudi. Ia tidak mematuhi hukum yang mengatakan, bahwa orang harus mencuci tangan sebelum makan. Ia menyembuhkan orang sakit pada hari Sabat, meskipun hukum melarang perbuatan semacam itu. Ia bahkan dikutuk dan disalib dengan tuduhan sebagai pelanggar hukum.
Kita melihat, bahwa pada satu sisi, Yesus menganggap penting hukum itu di dalam kehidupan manusia. Namun pada sisi yang lain, Ia seolah-olah tidak peduli dengan hukum yang ada, dan bahkan Ia sendiri telah melanggarnya. Coba saja kita perhatikan : Seorang wanita yang tertangkap basah karena perjinahan jelas-jelas bertentangan dengan hukum agama. Ia dianggap seorang pendosa karena perbuatannya. Oleh Yesus, perempuan itu justru dibela-Nya dari kecaman orang banyak dan diampuni-Nya.
Kita tentu bertanya, apa arti semuanya ini ? Apakah hal ini menunjukkan bahwa Yesus adalah pemimpin yang plin-plan dan tidak konsisten, seperti penilaian orang-orang Farisi dan para ahli Taurat ? Apakah Yesus ini juga adalah “liberalis”, “sesat”, “tidak alkitabiah”, tidak memperdulikan tradisi-tradisi agama yang asli, murni dan suci, serta menafsirkan Kitab Suci dan Taurat sekehendak hati ? Atau, justru Ia mempunyai maksud dengan perkataan-Nya tentang hukum Taurat itu ? Mari kita lihat bersama.
Sebelum kita menjawab pertanyaan itu, ada baiknya jika kita melihat dulu apa yang disebut hukum Taurat yang berlaku saat itu sehingga kita bisa mengerti maksud Tuhan Yesus dengan perkataan-Nya itu, dan agar kita tidak salah menafsirkan dan menerapkannya.
Orang-orang Yahudi menggunakan kata Hukum dengan 4 cara : Pertama, mereka memakai dan memahami Hukum dalam arti 10 hukum (Dasa Titah). Kedua, mereka memakai kata tersebut dalam arti 5 kitab yang pertama dalam Kitab Suci (Kejadian-Ulangan). Ketiga, Mereka juga memakai ungkapan kitab Hukum dan para nabi yang berarti seluruh Kitab Suci (PL). Keempat, mereka memakai kata hukum itu dalam arti Hukum Lisan/Hukum tertulis.
Pada masa hidup Yesus, arti yang ke-4 itulah yang paling umum digunakan, dan di dalam kenyataannya Hukum Lisan/Tertulis itulah yang paling banyak dikutuk dan dikritik oleh Yesus. Mengapa demikian ?
Orang Farisi itu amat ketat dan terikat pada hukum dan peraturan. Kehidupan mereka cuma punya dua sisi : hitam dan putih. Memenuhi peraturan berarti putih. Menyalahi aturan, apapun alasannya adalah hitam. Tak kenal kompromi. Tak ada kecuali. Setiap hukum harus diterjemahkan dalam hukum-hukum yang lebih kecil. Jika ada hal yang belum sempat diatur, maka dibuatlah peraturan baru.
Misalnya, kita lihat satu contoh kecil. Hukum Taurat mengatakan, bahwa hari Sabat haruslah disucikan, dan bahwa pada hari itu orang tidak boleh melakukan pekerjaan apa pun. Hukum ini merupakan prinsip dasar. Namun hukum ini tidak menjelaskan pekerjaan yang macam apa sehingga dianggap tidak menyucikan hari Sabat. Lalu, para ahli Taurat membuat ketetapan-ketetapan dan ketentuan yang baru. Di dalam kenyataannya, mereka berhasil menemukan peraturan dan ketentuan yang jumlahnya sangat banyak. Apakah pekerjaan itu ? Ternyata mereka memasukkan hampir segala sesuatu ke dalam definisi pekerjaan, umpamanya : membawa beban pada hari Sabat. Selanjutnya mereka harus mendefinisikan juga apa yang dimaksud dengan beban, dst…dst, sehingga mereka memperdebatkan apakah pada hari Sabat orang boleh/tidak boleh mengangkat pelita ke tempat lain; atau apakah seorang penjahit melakukan dosa kalau ia berjalan di luar dengan sebuah jarum yang masih berada di jubahnya; atau apakah seorang wanita boleh/tidak boleh, memakai perhiasan atau rambut palsu; atau apakah orang boleh keluar rumah dengan gigi palsu atau tongkat penyangga pada hari Sabat; atau apakah orang boleh/tidak boleh, menggendong anak pada hari itu, dsb.
Menurut mereka, semuanya itu merupakan hal yang secara agamaniah bersifat pokok. Jadi bagi mereka, agama merupakan tata hidup dan peraturan-peraturan yang sangat legalistis. Sehingga tidaklah mengherankan bila pada jaman itu, orang-orang Yahudi menganggap agama sebagai soal memberlakukan beribu-ribu peraturan dan ketentuan hukum secara hurufiah, dan ini digunakan secara mutlak sebagai ukuran yang menentukan seseorang selamat/tidak di kemudian hari. Peraturan-peraturan baru itu ditambahkan ke dalam hukum Taurat dan dilegalisasi, dan setiap orang Yahudi harus mematuhinya. Jika tidak mematuhinya, berarti ia tidak selamat. Inilah penyimpangan mereka di dalam menerapkan hukum-hukum itu. Hukum tidak lagi ditempatkan sebagai sarana bagi manusia untuk mengenal dan menaati kehendak Tuhan, tetapi sudah menjadi tujuan. Sikap inilah yang disebut sebagai legalisme.
Jika Yesus mengatakan, “Lakukanlah dan ajarkanlah hukum Taurat”, maka bagi-Nya, hukum Taurat yang dimaksud bukanlah ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan tambahan yang dilegalisasi itu, melainkan 10 hukum (Dasa Titah) yang merupakan inti dan dasar dari semua hukum, yang seluruh maknanya dapat diringkas di dalam satu kata, yakni KASIH : Kasih kepada Tuhan dan kasih kepada manusia. Hu-kum itu pulalah yang tidak hanya dinyatakan dengan perkataan, “Kasihilah Tuhan Allahmu dan kasihilah sesamamu”, tetapi juga Ia nyatakan di dalam sikap hidup-Nya sehari-hari, bahkan Ia sendiri taat sampai mati di kayu salib (Salib merupakan lambang ketaatan-Nya kepada Allah dan kasih-Nya kepada manusia). Oleh sebab itu, bagi Yesus mematuhi hukum Taurat berarti mencari kehendak Tuhan di dalamnya, dan bahwa bila manusia menemukannya, ia harus mempersembahkan seluruh hidupnya untuk mentaati kehendak Allah itu. 
Oleh sebab itu, Yesus mengatakan, “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” (ayat 20)
Tuhan Yesus sendiri mengakui, bahwa para ahli Taurat dan orang-orang Farisi adalah orang-orang yang takwa. Ia tidak memandang rendah hidup keagamaan mereka. Mereka sungguh-sungguh menjalankan hidup keagamaannya dengan serius dan memperoleh rasa sukacita dengan menaati hukum-hukum itu, betapa pun sulitnya. Apapun yang tertulis dalam kitab suci, ditaati. Satu titik/komapun tak terlampaui. Mereka bahkan menambahkannya dengan hukum-hukum ciptaannya sendiri. Mereka adalah orang-orang yang religius sampai ke jantung hati. Mereka adalah rohaniawan sejati, kaum ulama yang jempolan.
Bila benar demikian, mengapa Yesus justru mengatakan, “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari hidup keagamaan mereka….” Tidakkah cukup baik dan benar kehidupan keagamaan mereka ? Apanya yang tidak benar dalam diri orang-orang Farisi dan para ahli Taurat ?
Di sinilah kita perlu mengoreksi diri, dan perlu juga untuk mencurigai kebenaran kekristenan kita masing-masing. Sudah lebih benarkah kita dibandingkan dengan hidup kegamaan mereka ? Sebaliknya, mungkin kita sering menganggap diri kita lebih baik dan lebih benar dari orang lain di sekitar kita. Kita seringkali menganggap diri kita lebih suci dibandingkan orang lain, sehingga tanpa disadari, kita justru telah berlaku sama seperti orang-orang Farisi dan para ahli Taurat. Mengapa ?
Karena, ketika mendapatkan orang berdosa, mereka bukan mengampuni dan mengajaknya untuk berbalik kepada Allah, tetapi justru menghukum dan menjadi hakim atas mereka. Karena, ketika orang banyak datang kepada Yesus, mereka bahkan memusuhi-Nya. Karena, ketika sesamanya ditolong oleh Yesus dari kelaparan dan penyakit, mereka justru mengecam-Nya. Mengapa ? Hukum yang mereka buat tidak menyediakan tempat bagi orang-orang berdosa. Hukum yang mereka tambahkan tidak menyediakan tempat bagi orang-orang yang menderita. Justru sebaliknya, hukum-hukum yang mereka buat itu telah menjerat orang kepada kewajiban dan agama hanya menjadi belenggu yang memenjarakan. Orang tidak lagi merendahkan diri kepada Allah, tetapi justru memegahkan diri di hadapan Allah. 
Hukum Taurat masih berlaku di dalam kehidupan kita manakala kita menempatkan itu sebagai sarana dan bukan tujuan, karena “Taurat diciptakan untuk manusia dan bukan manusia untuk Taurat.”
Di sinilah, setiap orang percaya perlu dan seharusnya belajar terus-menerus untuk membangun kehidupan spiritualitasnya dengan melakukan disiplin rohani. Disiplin rohani merupakan cara/sikap seseorang untuk bergaul dan mengenal Allah, baik itu dalam hal beribadah maupun menaati dan mematuhi perintah Tuhan. Setiap orang percaya seharusnya berusaha untuk terus-menerus melakukan yang terbaik dalam menjalankan kehidupan imannya (Filipi 3 : 4 – 16). 
Namun setiap orang haruslah juga berhati-hati ketika ia menjalankan disiplin rohani. Sebab bisa saja ia menjadi seorang yang legalisme. Menjadi sombong rohani dan menganggap bahwa apa yang telah mampu dicapainya merupakan ukuran untuk mengukur sikap hidup orang lain dan menghakiminya. Bukankah ini sering terjadi juga dalam kondisi hidup di jaman modern sekarang ini ?
Sebenarnya, persatuan dan kesatuan orang percaya menjadi pecah karena adanya sikap yang sombong rohani. Mereka yang menganggap dirinya telah berhasil dalam menjalankan kehidupan barunya sebagai seorang pengikut Kristus, dengan mudah menuduh bahwa seseorang tidak bisa diselamatkan kalau tidak terlebih dahulu dibaptis selam atau Roh Kudus, dan sebagainya. Ini sangat jelas terlihat, misalnya upaya sekelompok orang Kristen yang hendak mengkristenkan orang yang sudah kristen. Satu sisi, adalah sesuatu yang baik bila kita mengajak orang yang sudah memiliki iman kepada Kristus tapi dalam kehidupan nyata hal itu tidak nampak untuk mengingat kembali bahwa kita harus hidup dalam pertobatan, bukankah hal ini adalah mulia ? Hanya saja, di sisi lain, sikap itu telah terlalu jauh dengan mendiskreditkan pihak lain. Sikap tersebut didukung oleh legalisme yang sempit, yang hanya melahirkan kesombongan rohani. Seharusnya disiplin rohani justru melahirkan sikap yang bergaul dan semakin mengenal Tuhan. Yang perlu dibangun oleh setiap orang percaya adalah spiritualitasnya, bukan legalismenya.


Read more...

YESUS YANG KUTAHU

Bacaan Alkitab : Matius 5 : 20
Remaja yang dikasihi Tuhan,
Jika saat ini Yesus ada di tengah-tengah Saudara, apakah Saudara akan mengenali-Nya ? Mungkin Saudara akan menjawab, “Ya, saya akan mengenal Dia. Lihatlah bekas luka-Nya !” Atau mungkin Saudara sama sekali tidak mengenal-Nya. Sebab bukankah Dia adalah Allah yang Mahatinggi, penuh kuasa dan kebenaran.
Berbagai tanggapan dapat saja muncul sekitar apakah saya dapat mengenal-nya atau tidak ! Namun bila kita memperhatikan respon para murid ketika Yesus telah bangkit dan berada di tengah-tengah mereka, ternyata mereka tidak dapat mengenal-Nya dengan baik. Padahal mereka sudah bersama-sama Yesus selama 3 tahun lamanya. Mereka tidak hanya mengenal-Nya secara fisik, tetapi juga tidak sepenuhnya mengenal setiap ajaran yang diberikan-Nya.
Kita patut bersyukur, sebab orang-orang modern saat ini telah memiliki Alkitab. Terutama kitab-kitab Injil, yang berisi kesaksian para murid dan para penulis sendiri tentang siapa Yesus. Melalui kesaksian itulah, kita dapat belajar semakin banyak, bukan dalam hal fisik-Nya, tetapi apa yang telah diajarkan-Nya bagi manusia di dunia ini.
Salah satu hal yang pernah Yesus ungkapkan orang banyak ketika Ia sedang berkotbah di atas bukit, demikian : “Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” (Matius 5 : 20) Perkataan Yesus itu dapat dibagi dua hal yang saling berkitan satu sama lain.
Pertama, Ia mengatakan bahwa setiap orang haruslah hidup benar, lebih dari apa yang dapat dilakukan oleh para cendekia agama yang sangat dikagumi saat itu. Mengapa Yesus berkata demikian ? Bukankah para cendekian agama adalah orang-orang penuh kebenaran, yang tidak hanya rajin membaca kitab suci, tetapi juga yang mampu mengamalkan aturan-aturan dalam hukum Taurat ? Mengapa Ia membandingkannya dengan orang-orang yang begitu dikagumi oleh masyarakat Yahudi saat itu ?
Kita tahu, bahwa hidup keagamaan orang-orang Farisi dan para ahli Taurat tidak bisa diragukan lagi kesalehannya. Betapa tidak ! mereka berdoa dan bersembahyang 3 kali sehari, bahkan lebih. Perpuluhan mereka lakukan seperti aturan yang ada. Selain itu, mereka berpuasa dengan rajin dan tidak pernah lupa untuk selalu membawa kitab syuci ke manapun mereka pergi. Bila kita dibandingkan dengan mereka, rasanya kita sama sekali tidak ada apa-apanya. Hidup kesalehan kita jauh daripada mereka. Sebab kita menyadari, bahwa kita menjalankan hidup keagamaan kita banyak yang bolong-bolong. Jika demikian, mengapa Ia berkata demikian ?
Yesus tidak berkata agar kita hidup lebih baik, tetapi hiduplah lebih benar. Coba perhatikan cara hidup mereka ! Mereka lebih mengutamakan peraturan ketimbang rasa kasih terhadap sesama. Buktinya, mereka justru mengkritik Yesus ketika Yesus menyembuhkan orang sakit pada hari Sabat. Hati dan pikiran mereka punh kecurigaan terhadap tindakan Yesus. Padahal mereka tahu, bahwa dalam kitab suci telah dinubuatkan tentang Mesias yang akan datang di tengah-tengah mereka, dan Mesias itulah yang akan mngemban misi Bapa untuk menyelamatkan umat manusia dari hukuman dosa. Memang, mereka rajin beribadah, tetapi mereka tidak peduli terhadap keadaan orang lain. Itulah sebabnya, Yesus menekankan hidup benar dan bukan sekedar menjalankan aturan keagamaan, yang bisa saja membelokkan kita dari prinsip utama hidup kristiani, yakni kasih. Hukum kasih itu harus seimbang, antara kasih kepada Allah dan kasih kepada manusia. Hidup yang benar itu adalah menjalin hubungan vertikal dengan Allah dan aplikasi yang nyata dengan mengasihi sesama, seperti mengasihi diri sendiri.
Kedua, Yesus mengatakan bahwa bila kita menjalankan hidup yang lebih benar, maka Kerajaan Sorga dapat diraih. Ini merupakan suatu jaminan dari Allah sendiri. Ia sudah memberikan anugerah keselamatan itu dalam diri Yesus Kristus melalui jalan salib yang penuh penderitaan. Keselamatan itu adalah anugerah, pemberian yang cuma-cuma, tidak dapat diperoleh dengan cara mengusahakannya (Efesus 2 : 8 & 9). Sekalipun demikian, rasa syukur menerima anugerah yang cuma-cuma itu harus benar-benar diwujudkan, tidak sekedar kita beriman saja. Sebab hidup benar itu merupakan tindakan yang nyata dan bukan sekedar sesuatu yang kita simpan dalam hati. Sebab bisa saja seseorang dikatakan beriman, tetapi mutu hidupnya tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara iman. Sebab untuk apa ia mengaku beriman dan telah mendapat keselamatan, namun masih tetap hidup dalam kehidupannya yang lama penuh dosa.
Di sinilah, rasa syukur atas anugerah itu harus benar-benar dinampakkan. Yesus tidak sekedar berbicara soal kasih, tetapi Ia sendiri menunjukkan bagaimana hidup penuh kasih itu dijalankan. Ia mengasihi orang banyak bukan sekedar memberikan berkat dan kesembuhan, tetapi juga Ia bersedia memberikan diri-Nya sebagai korban tebusan bagi umat manusia. Bahkan di dalam penderitaan-Nya itu, ia tidak mengeluarkan kata-kata penuh amarah dan makian. Ia justru berdoa agar Allah Bapa mengampuni mereka yang tidak tahu apa yang mereka sedang perbuat.
Itulah Yesus, antara perkataan-Nya dengan tindakan-Nya selaras. Ia tidak seperti orang yang memakai topeng, penuh sandiwara dan kebohongan. Ia tidak juga seperti bunglon, yang mudah berubah. Namun ia punya prinsip yang terus dipegang dan dijalankan-Nya. Demikianlah Yesus, Tuhan kita, telah memberikan teladan demikian. Paling tidak, kita telah mengetahui sedikit dari apa yang Ia ajarkan dan lakukan. Masalahnya adalah, kapan kit mulai melakukan hidup benar itu ?

Read more...

MENJADI PENURUT-PENURUT ALLAH

Renungan Minggu, 9 Agustus 2009 (Biasa XIV)

Bacaan I (I Raja-raja 19 : 4 – 8); Antar Bacaan (Mazmur 130); 
Bacaan II (Efesus 4 : 25 – 5 : 2); Injil (Yohanes 6 : 41 – 51)

Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus,
Suatu malam/dini hari, saya diminta oleh sepasang suami-istri untuk segera ke rumahnya. Saya bertanya : “Mengapa ?” Mereka jawab : “Jika bapak tidak datang, kami akan cerai ?” “Loh, kok bisa begitu ?” jawab saya dengan keheranan. Akhirnya saya turuti keinginan mereka, bukan karena “ancaman” bahwa mereka mau cerai, tetapi karena saya anggap hal itu sangat penting. Maka dini hari yang dingin, saya telusuri jalan menuju ke rumahnya. Tidak mudah mendapatkannya. Setelah bertanya sana sini, saya sampai juga di rumah mereka. Sesampainya di sana, saya melihat mereka masih terus bertengkar; muka sanga suami ada bekas cakaran dan di beberapa bagian tubuh istrinya memar-memar. Pikir saya, “Mereka baru saja melancarkan perang dunia ke-3”. Pertengkaran itu selesai pukul 03.30. Saya berpikir, “Kok, pengen berantem aja musti disaksikan pendeta seh ?” Di akhir pertemuan itu, mereka minta didoakan dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi pertengkaran. Hanya saja, peristiwa semacam itu terus berulang bila akhir bulan tiba…….
Relasi antar sesama yang didasari cinta kasih merupakan bentuk kesaksian yang seharusnya kita perjuangkan dalam hidup kekristenan kita. Idealnya : kehendak Tuhan jauh lebih diutamakan ketimbang kepentingan diri sendiri.
Namun dalam kenyataannya, tidak jarang kehendak kita yang jauh lebih menguasai kesadaran emosional dan cara berpikir kita dari pada keinginan untuk menuruti kehendak Tuhan. Lihatlah pengalaman Elia dalam I Raja-raja 4 – 8. Dalam pelariannya dari pengejaran Izebel (istri raja Ahab di Samaria), Elia masuk ke padang gurun tanpa didampingi bujangnya dalam kondisi sangat kelelahan. Suatu pemandangan yang memang begitu kontras : sebagai seorang nabi yang memiliki kuasa Tuhan, seharusnya ia mampu melawan segala kesusahan dan penderitaan hidup, termasuk situasi sulit apapun yang dihadapi. Semestinya nabi Elia mampu mengalahkan kelemahan dirinya akibat terus-menerus dikejar oleh bala tentara kerajaan di mana Elia telah memenangkan peperangan rohani melawan 450 nabi Baal dan membantai mereka di sungai Kison. Artinya, pengejaran itu tentu bukanlah perkara yang sulit bila dibandingkan peperangan rohani yang sudah ia lewati….. Hanya saja, kita membaca, bahwa nabi Elia sudah merasa tidak mampu lagi melawan keadaan dirinya, akibat menghadapi kelarapan dan kehausan selama dalam pelarian. Ia berkata : "Cukuplah itu ! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku." (I Raja-raja 19 : 4)
Ini menjadi suatu bukti, bahwa ketaatan kepada Tuhan bukanlah suatu hal yang dianggap biasa-biasa saja untuk kita jalani. Menuruti kehendak Tuhan haruslah kita jalani dengan kesadaran penuh, bahwa segala sesuatu harus siap kita tanggung, termasuk melawan diri sendiri yang lelah memikul semua beban yang harus ditanggung …. Nabi Elia tidak mampu menahan kesusahan dirinya akibat kehausan dan kelaparan yang dideritanya…..
Tantangan terberat dalam bersikap taat bukanlah datang dari pihak luar, tetapi dari dalam diri kita sendiri….. Egosentrisme, kebanggaan, kepuasan diri, kelelahan fisik dan psikis seringkali menjadi pengganggu paling besar yang mampu menggagalkan sikap taat kita kepada Tuhan……. Contoh : Daud ! Dia dipilih oleh Tuhan menggantikan Saul, selain karena memiliki hati yang baik, juga kepadanya ditugaskan untuk menjadi saksi dan pelaksana kehendak Tuhan atas bangsanya. Tuhan ingin agar melaluinya, bangsa Israel hidup dalam damai sejahtera dan mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan dalam hidup mereka. Namun, setelah menjadi seorang raja yang sangat berkuasa, ia terjebak pada naluri libidonya. Ia mengambil Batsyeba dan menyingkirkan suaminya, Uria, panglima perang Daud sendiri !
Begitu juga cerita yang tertulis dalam Yohanes 6 : 41 – 51. Sekalipun terbukti Tuhan Yesus memiliki kuasa dan kebijakan mengajarkan Firman Tuhan, tetapi tetap saja para pendengar-Nya tidak bersedia menerima Yesus sebagai roti hidup. Mengapa mereka menolak Yesus ? Ada berbagai alasan. Salah satunya adalah mereka melihat keluarga Yesus. Bagi mereka, Yesus yang berasal dari keluarga tukang kayu, mana mungkin mereka mempercayai ucapan Yesus, bahwa Ia adalah roti hidup yang turun dari sorga...... Orang banyak tidak memperhatikan makna ucapan Yesus, tetapi mereka lebih melihat dari mana Yesus berasal… Akibatnya, mereka terkendala untuk mengerti dan memahami ucapan Yesus. Mereka lebih mengendalkan pola pikir mereka sendiri daripada bersikap rendah hati dan ketulusan untuk belajar mengerti dan memahami ucapan Yesus….. Ini menjadi kerugian besar para pendengar-Nya, sebab mereka tidak mendapatkan apa-apa, sekalipun Tuhan Yesus sudah mengajarkan makna hidup sebagai orang percaya…
Maka, hal yang patut untuk diwaspadai bukanlah apa yanga da di luar diri kita, tetapi yang ada dalam diri kita sendiri, yang dapat menjadi pengganggu dan merusak sikap taat kita kepada Tuhan. Kita harus mampu melawannya dengan mengingat, bahwa Tuhan juga memberikan pertolongan dalam kelemahan kita ! Seperti kisah Elia, Tuhan menyediakan apa yang dibutuhkan Elia untuk bisa melawan kesusahannya, sehingga ia tidak tenggelam dalam keputus-asaan akibat kehausan dan kelaparan. Tuhan pasti turun tangan siap untuk menolong dan menopang ! Lihatlah bagaimana Tuhan, melalui malaikat-Nya mengatakan : “Bangunlah, makanlah ! Sebab kalau tidak, perjalananmu nanti terlalu jauh bagimu." (ayat 5 & 7) Allah pasti tidak meninggalkannya, agar Elia tetap pada tugas panggilannya melakukan kehendak Tuhan……
Bagi kita, penyertaan Allah itu dalam diri Roh Kudus, yang senantiasa menyertai hidup orang percaya ! Roh Kudus itu diam di dalam diri kita untuk menolong, membimbing, menolong, menghibur bahkan menguatkan kita bila kita merasa tidak berdaya…….
Jadi, yang terpenting adalah bagaimana melakukan kehendak Tuhan, menjadi penurut-penurut Allah. Bagaimana hal itu dapat dilakukan ? Paulus mengingatkan dalam suratnya kepada jemaat di Efesus demikian, “….. hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah.” (Efesus 5 : 2) Bentuknya ? (1). Buanglah dusta (ayat 24); (2). Apabila marah, janganlah berbuat dosa (ayat 26); (3). Bila pencuri, janganlah mencuri lagi dan bekerjalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (ayat 28); (4). Janganlah berkata kotor, tetapi berkatalah yang baik agar membangun kehidupan (ayat 29). Apa arti semuanya itu ? Jika ingin menjadi penurut-penurut Allah, maka hiduplah di dalam kasih di antara sesama dengan keramahan dan ketulusan….. Itulah kehendak Tuhan….
Mengapa ? Tuhan Yesus adalah roti hidup. Dialah penolong dan penopang utama dalam hidup kita. Bukan sekedar mencukupkan segala kebutuhan fisik kita, tetapi yang perlu diingat adalah Tuhan Yesus telah menyerahkan hidup-Nya sendiri untuk menyelamatkan umat manusia. Tindakan-Nya merupakan bukti cinta kasih-Nya, yang seharusnya kita tiru dan kehendak-Nya kita turuti. Inilah alasan bagi kita menjadi penurut-penurut Allah.

Read more...

Mbah Surip & Popularitas

>> Selasa, 04 Agustus 2009

Siapa menduga, melalui lagunya yang berjudul "Tak Gendong", popularitas mbah Surip seakan melejit seperti roket. Pasalnya, lagu itu tak terbendung lagi meledak dipasaran. Bahkan RBT (Ring Back Tone) lagu tersebut diakses oleh hampir 8 juta pengguna ponsel. Maka tak pelak, bukan hanya popularitas yang ia peroleh, tetapi juga koceknya bertambah bak mendapatkan durian runtuh. Konon, ia memperoleh royalti sebanyak 60%, kira-kira 33 milyar. 

Awalnya, menurut rekan dekatnya bernama Anto Baret (?), ia ke Jakarta dari Mojokerto hanya menggunakan sepeda onthel. Tujuannya hanya satu, yakni mengajak panco mantan petinju Elias Pical. Sejak itulah, hidupnya menggelandang dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Ia juga sempat menjadi pengamen jalanan. Terhadap orang seperti itu, kita biasanya menduga, bahwa hidupnya seperti kaum hippies, yang tidak jelas tujuan hidupnya.

Namun siapa nyana, orang yang menggelandang tersebut ternyata seorang yang meraih titel Mba. Ia pernah bekerja di berbagai negara di perusahaan pengeboran minyak, berlian dan emas. Tidak puas dengan keadaan hidupnya, ia memulai hidup dengan cara yang mungkin tak lazim menurut kebanyakan orang. Justru setibanya di Jakarta, ia mengalami titik balik. Apalagi ketika keberuntungan berpihak padanya. Ia bisa saja menjadi orang yang lupa diri. 

Namun tunggu dulu, ia bukanlah figur seperti dugaan banyak orang. Sekalipun populer, bertitel, dan pernah bekerja di berbagai negara seperti yang diimpikan banyak orang, hidupnya tetap sederhana. Kebahagiaannya bukan pada popularitas, juga bukan pada banyaknya kocek. Kebahagiaannya justru terletak pada filosofinya, yakni "I Love You Full". 

Kecintaannya dalam relasi dengan banyak orang semakin mencerminkan siapa dirinya yang sebenarnya. Ia mencintai banyak orang begitu tulus, tercurah sepenuh hati tanpa ada 
embel-embel apapun. Lagu "Tak Gendong" memperlihatkan filosofi itu, bahwa dalam kebersamaan kita perlu untuk saling menggendong, menolong dan menopang. Itulah makna hidup yang seharusnya kita jalani dan perjuangkan.

Selamat tinggal Mbah Surip ! Kepergianmu memang mencengangkan banyak orang, termasuk orang-orang asing bertanya "Who is Mbah Surip"? Tua, muda, miskin atau kaya merasa kehilangan. Sekalipun demikian, ada makna hidup yang dapat kita petik dari figur seperti dia. Hidup sederhana, tertawamu yang memberikan kebahagiaan banyak orang, itulah yang engkau tinggalkan sebagai warisan makna hidup yang bermakna. Terima kasih !

Read more...

Memulai Hal Yang Baru

>> Senin, 03 Agustus 2009

Hari ini, apa yang terpikirkan dan menjadi usulan mewujud dalam kenyataan. Tidak mudah, selain harus mempelajari hal-hal baru dan meluangkan waktu untuk menulis, namun itulah yang harus dimulai. Mudah-mudah menjadi penuh arti bagi diri sendiri dan orang yang melihatnya. Terima kasih......

Read more...

About This Blog

  © Free Blogger Templates Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP