DEMONSTRASI dan KEADILAN MENURUT KRISTUS

>> Minggu, 09 Agustus 2009

Sejak bola reformasi bergulir 11 tahun yang lalu, berbagai demonstrasi menjadi sebuah eforia baru. Konon, demonstrasi merupakan wajah baru demokratisasi, menjadi pilihan beberapa pihak untuk menyuarakan aspirasi, kepentingan, ide dan kritiknya. Protes itu dinyatakan secara massal, yang tentunya terjadi mobilisasi massa. Ada bermacam-macam demonstrasi : sengketa hasil pilkada, protes mahasiswa, organisasi masyarakat, hingga aksi kaum buruh. Awalnya mungkin ingin memperjuangkan kesejahteraan demi menyuarakan keadilan dan kemakmuran bagi rakyat banyak, dengan melakukan long-march, berteriak-teriak, membakar ban, aksi teatrikal, merusak pagar, aksi jahit mulut, dsb. Tanpa bermaksud mengecilkan apa yang dikorbankan untuk demonstrasi, tapi penulis melihat bahwa demonstrasi telah kehilangan esensi dan relevansinya. Demonstrasi pun telah menjadi semakin anarkis dan tak terarah. Skeptisime baru telah muncul, perjuangan keadilan pun menjadi mandul tak berarti. Sebab tidak jarang, demonstrasi itu justru telah melahirkan penderitaan baru bagi beberapa orang, juga masyarakat yang menjadi korbannya. Demonstrasi tidak lagi dilakukan demi menyuarakan keadilan, tetapi justru menciptakan ketidak-adilan baru….

Anda tentu ingat demonstrasi maut yang terjadi di Sumatra Utara. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 9 Pebruari 2009 yang lalu, di mana seribu lebih massa pendukung ProTap berunjuk-rasa di DPRD Sumut dan memasuki ruang sidang utama sambil membawa sebuah peti mati untuk menemui wakil rakyat yang sedang melakukan rapat paripurna di tempat itu. Massa yang dalam jumlah besar itu membawa Ketua DPRD Sumut, Aziz Angkat ke ruangan Fraksi Partai Golkar sambil dicaci-maki, ditarik-tarik dan bahkan harus menerima perlakukan tidak pantas dari sejumlah pengunjuk rasa. Diduga tidak kuat menahan serangan, Aziz Angkat yang juga Sekretaris Partai Golkar Sumut itu terkapar dan meninggal dunia meski sempat dilarikan ke rumah sakit Gleni Internasional Medan.

Sekalipun sebagai pemimpin massa pada masanya dan punya kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan demonstrasi ala masyarakat kini, namun Tuhan Yesus tidak melakukannya. Sebenarnya Tuhan Yesus punya banyak alasan untuk melakukan protes dengan aksi mobilisasi massa demi menyuarakan keadilan. Peraturan dan hukum yang berlaku saat itu cenderung tidak memihak rakyat kecil dan berat sebelah. Ketidak-adilan sangat kentara, misalnya tentang peraturan Sabat. Jelas tertulis, “Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat.” (Keluaran 20 : 8) Maksudnya, setiap orang, tanpa kecuali, harus memanfaatkan hari itu untuk memuliakan Tuhan. Namun dalam prakteknya, aturan itu ditafsirkan “Jangan melakukan suatu pekerjaan apapun” oleh para pemimpin agama saat itu. Akibatnya, aturan itu digunakan oleh mereka untuk mengkritik para murid Yesus, yang karena lapar, memetik bulir gandum dan memakannya (Matius 12 : 1). Tuhan Yesus pun pernah dipersalahkan karena telah melakukan suatu perbuatan pada hari sabat, yakni menyembuhkan orang sakit (Matius 12 : 10). Padahal, menurut Yesus, peraturan dibuat bukan demi terwujudnya peraturan itu, juga bukan untuk menjebak orang agar ia bisa dinyatakan bersalah. Demikian ucapan Tuhan Yesus, “Jika memang kamu mengerti maksud firman ini : Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, tentu kamu tidak menghukum orang yang tidak bersalah. Karena Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat." (Matius 12 : 7 – 8) Jadi seharusnya, peraturan atau hukum digunakan semata-mata demi untuk kemuliaan Tuhan, dan bukan sebaliknya.

Apa itu keadilan ? Dalam pandangan Yahudi, juga umumnya kita semua, mengartikan keadilan sebagai tindakan setimpal (mata ganti mata, darah ganti darah). Lex Talionis ! Hukum Pembalasan !…. Jika seseorang telah mengorbankan pihak lain, maka pihak lain itu berhak menuntut keadilan dengan balasan yang setimpal.

Keadilan demikian tentu tidak pernah memberikan penyelesaian. Yang terjadi adalah saling menuntut, saling membalas. Masalah tidak akan pernah selesai di situ, sebab ternyata keadilan dalam konsep demikian justru menimbulkan rasa dendam satu kepada yang lain. Bila tuntutannya tidak “setimpal”, maka dendam itu belum terpuaskan. Hal itu akan terus berlangsung seperti itu, dan keadilan yang diharapkan tidak akan pernah tercipta.

Itulah sebabnya, demi menuntut sebuah keadilan, Tuhan Yesus tidak melakukan protes seperti yang dilakukan orang-orang pada umumnya dalam berdemonstrasi. Protes yang dilakukan Yesus adalah dengan cara memberi contoh, melalui keteladanan, bahkan diri-Nya sendiri sebagai suatu “korban” dari sebuah ketidak-adilan. Itulah salib Yesus ! ia bersedia menjadi “korban” terakhir dari ketidak-adilan manusia….. Bagi Yesus, keadilan yang dimaksud adalah memberi diri, menyangkal diri. Melalui itu, keadilan yang diperjuangkan dengan penuh cinta kasih seharusnya menjadi cara pandang baru untuk diperjuangkan oleh kita semua.

Lihatlah bagaimana Allah menuntut keadilan kepada manusia yang telah berdosa kepada-Nya. Ia tidak membalas kejahatan dan keberdosaan manusia dengan hukuman yang setimpal, yang memang layak manusia terima. Tetapi Tuhan justru meniadakan hukuman itu melalui pengampunan agar manusia lebih menghargai hidup dan keberadaan manusia lain dengan cinta kasih yang harus diberlakukan dan terus-menerus diperjuangkan. Demikian kesaksian pemazmur, “TUHAN menjalankan keadilan dan hukum bagi segala orang yang diperas. Ia telah memperkenalkan jalan-jalan-Nya kepada Musa, perbuatan-perbuatan-Nya kepada orang Israel. TUHAN adalah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia. Tidak selalu Ia menuntut, dan tidak untuk selama-lamanya Ia mendendam. Tidak dilakukan-Nya kepada kita setimpal dengan dosa kita, dan tidak dibalas-Nya kepada kita setimpal dengan kesalahan kita, tetapi setinggi langit di atas bumi, demikian besarnya kasih setia-Nya atas orang-orang yang takut akan Dia; sejauh timur dari barat, demikian dijauhkan-Nya dari pada kita pelanggaran kita. Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia.” (Mazmur 103 : 6 – 13)

Read more...

DUNIA : DICINTAI ATAU DIBENCI ? (Dalam konteks Bergereja & Bermasyarakat)

“Dunia : dicintai atau dibenci ?” Pilihan ini sangat sulit. Sebab dalam prakteknya, kita selalu hidup di antara dua rasa itu. Di satu sisi, “cinta” kepada dunia ini sulit untuk kita hindari. Sebab kita yang hidup di dalam dunia ini tidak mungkin untuk tidak “berdamai” dengan nilai-nilai dunia. Sikap kita menjadi konformistis. Bahkan kita merasa harus menggunakan cara-cara dunia ini untuk bisa menjalani hidup ini. Jika tidak, mungkin kita tidak beruntung dan tidak bisa hidup karena berbeda dengan dunia. Hal ini kita anggap sebagai kenyataan hidup !

Namun di sisi lain, kita mengamini apa yang dikatakan oleh Alkitab tentang apa yang seharusnya, apa yang ideal. Yesus mengatakan, bahwa kita harus menjadi “garam” yang mengasini, menjadi “terang” yang menyinari, menjadi “ragi” yang mengkhamirkan dunia atau masyarakat di mana kita hidup. Rasul Paulus juga menulis, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini”. (Roma 12 : 2) Maksudnya, jangan hanya ikut-ikutan dengan apa yang ada di dalam dunia. Pegang teguh identitas dan integritas kita sebagai orang Kristen ! Jangan luntur, jangan aus oleh gesekan dan benturan dengan roh-roh zaman yang ada di dalam dunia. Jangan terhanyut dengan nilai-nilai dunia yang sangat mungkin menyesatkan kita.

Atas dua pilihan itu, kita sering bersikap dualisme. Bila berada di luar gereja, kita merasa bebas untuk berbuat apa saja, bahkan dengan sadar menggunakan cara-cara dunia agar kita bisa hidup. Menyuap itu wajar. Menyikut lawan itu wajar. Menyakiti itu wajar. Segala cara dipakai agar kita bisa hidup, sebab itulah permainan dunia. Kita harus begitu, sebab memang harus begitu jika kita ingin hidup. Namun kondisi itu segera berubah bila kita berada di dalam gereja. Kita menjadi “alim” dan ekslusif. Kita merasa bahwa apa yang sudah dilakukannya selama berada di luar gereja itu adalah dosa, sehingga kita merasa perlu untuk mengakuinya dengan jujur kepada Tuhan dalam pengakuan dosa melalui ibadah. Sebab di dalam gereja, segalanya harus suci dan kudus. Segala urusan dunia harus ditanggalkan di dalam gereja…..dan kita harus menggunakan jubah kesucian.

Idealnya, sebagai garam kita harus larut dan lebur agar dapat menggarami (memberi rasa asin). Kita tidak boleh konformistis dengan dunia. Tapi bagaimana lagi ? Realitas hidup seakan-akan mendorong kita begitu kuat untuk nyebur sepenuhnya ke dalam dunia. Kita berdamai dengan dunia…..

Apakah harus demikian ? Tidak ! Garam itu memang harus larut, harus lebur. Karena itulah kita harus berada di dalam dunia (masyarakat). Jika hanya disimpan di dalam lemari, ditaruh di toples, garam seperti itu tidak ada gunanya. Sebaliknya, jika kita memilih untuk nyebur sepenuhnya ke dalam dunia, mengikuti semua aturan dan permainan dunia, maka kita tidak mungkin berfungsi sebagai garam. Atau tetap garam, tetapi tidak memberi rasa asin. Jika demikian, maka garam itu tidak ada gunanya lagi selain dibuang dan diinjak-injak orang. Jadi kesimpulannya, kita memang harus nyebur, tetapi tidak boleh sepenuhnya. Kita tidak boleh merasa diri ekslusif, tetapi juga tidak konformistis. Kondisi itulah yang memang harus kita hadapi terus-menerus. Kita mesti hidup di dalam ketegangan yang terus-menerus di antara dua kutub. Atau menurut Martin Luther, hidup kita berada dalam paradoks yang terus-menerus. Mau “ikut dunia” sepenuhnya tidak boleh, karena kita ini anak-anak Tuhan. Tetapi mau “ikut Tuhan” sepenuhnya juga tidak mungkin, karena kita masih berada di dalam dunia.
Lalu kita harus bagaimana dalam menghadapi dua kutub itu ?

Agus M. Hardjana dalam bukunya yang berjudul “Religiositas, Agama & Spiritualitas” menyatakan, bahwa sebagai orang yang beriman, kita sepatutnya memiliki hidup spiritual yang membumi. Yakni, hidup kita seharusnya berpusat pada Roh Allah dan dijiwai oleh-Nya dengan tetap hidup di dunia dengan segala tantangan dan masalah yang ada. Dengan hidup spiritual, kita sebagai orang-orang spiritual berusaha untuk semakin hari semakin menyatu dengan Roh Allah, hidup mengambil bagian dari sifat-sifat Allah serta ikut serta bekerja bersama Allah mendatangkan kebaikan, keselamatan, dan kesejahteraan di dunia (p. 92).

Atau dalam bahasa Yosua, yang diucapkannya dalam pidato perpisahannya, begini : “Tetapi kamu harus berpaut pada TUHAN, Allahmu, seperti yang kamu lakukan sampai sekarang.” (Yosua 23 : 8) “Dan demi nyawamu bertekunlah mengasihi Tuhan Allahmu.” (Yousa 23 : 11) Apa artinya ?

Mari kita perhatikan konteksnya terlebih dahulu. Pada waktu Yosua memimpin umat Israel untuk masuk dan merebut tanah Kanaan, ada satu hal yang penting sekali untuk kita perhatikan. Yaitu dengan sengaja Tuhan tidak membasmi atau mengusir habis bangsa-bangsa Kanaan. Mereka dibiarkan memliki keyakinan dan menjalani pada cara hidupnya. Itu artinya, Tuhan ingin agar bangsa Israel tidak hidup eksklusif dan terasing dari masyarakat luas. Bahwa di bumi ini tidak hanya mereka, tetapi juga ada orang-orang lain yang memiliki norma-norma dan nilai-nilai hidup yang berbeda. Bangsa Israel harus bergaul dan hidup bersama dengan orang-orang Kanaan, namun haruslah berbeda dengan mereka. Dalam hidup bersama itulah, amatlah tidak mungkin untuk tidak terpengaruh oleh kondisi hidup yang ada. Ya, sangatlah mungkin bangsa Israel terpengaruh oleh cara-cara dan nilai-nilai hidup orang-orang Kanaan. Jika berkembang model pakaian terbaru pada masyarakat kanaan, ya merekapun bisa mengikutinya. Jika berkembang teknologi baru dalam masyarakat Kanaan, ya tidak ada salahnya untuk ikut menggunakannya. Itu tidak masalah bagi Tuhan. Namun akan menjadi masalah, jika orang-orang Israel berbalik dan berpaut kepada apa yang ada di sekitarnya, yakni menggantungkan diri, mengikatkan diri sepenuhnya kepada norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat, dan bukan kepada TUHAN. Ikut arus, itu sangat mungkin terjadi tetapi hanya pada batas tertentu. Kita tidak boleh mengkhianati Tuhan demi memperoleh rasa aman, kesembuhan, jabatan atau keuntungan. Itu berarti kita sudah melanggar batas. Itulah sebabnya, Yosua menasihatkan agar umat berpaut kepada Tuhan semata, bahkan mereka haruslah tetap mengasihi TUHAN (Eka Darmaputera, Iman & Tantangan Jaman, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2004, p. 46-47).
Lewis Seymour Mudge dalam bukunya yang berjudul “The Church as Moral Community”, mengatakan bahwa kita tidak boleh terjebak pada keadaan dunia ini yang telah jatuh ke dalam dosa. Tetapi kita harus ingat pada “missio dei” sebagai panggilan hidup beriman. Kita dipanggil untuk menjadi “role model”, yang mampu memberikan kontribusi positif bagi terciptanya perubahan-perubahan demi perwujudan “Shalom Allah di bumi ini”.

Read more...

AMBISI, BOLEHKAH ?

Markus 9 : 33 - 37

 Kata ambisi, sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia, dipahami sebagai : keinginan (hasrat, nafsu) yang besar untuk menjadi (memperoleh, mencapai) sesuatu (seperti pangkat, kedudukan) atau melakukan sesuatu. Kata “ambisi” berbeda penekanan maknanya dengan kata “ambisius”. Kata “ambisius” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai berkeinginan keras mencapai sesuatu (cita-cita, dsb). Bila keduanya sama-sama berbicara soal keinginan untuk mencapai sesuatu, namun keduanya berbeda penekanan. Yakni, soal bagaimana cara untuk mencapai keinginan dan demi siapa keinginan itu tercapai…..

 Seseorang yang mempunyai keinginan besar untuk mencapai sesuatu, itu sesuatu yang wajar dan menjadi keharusan. Karena adanya suatu keinginan, maka orang punya suatu usaha, sehingga itu menjadi “spirit” bagi upaya yang dilakukan. Tanpa memiliki keinginan dan upaya untuk mencapai sesuatu, hidupnya seakan-akan tidak memiliki spirit, sehingga bisa saja ia dianggap “mati”.

 Namun sebaliknya, jika suatu keinginan yang dijalankan hanya demi mencapai keinginan itu sendiri tanpa memperhatikan kaidah-kaidah yang berlaku, memberikan manfaat apalagi merugikan bagi pihak lain, itu tentunya tidak boleh terjadi. Rupanya, hal itu terdapat pada diri para murid Tuhan Yesus.

 Konteks bacaan kita berkaitan dengan ucapan Yesus : “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia, dan mereka akan membunuh Dia, dan tiga hari sesudah Ia dibunuh Ia akan bangkit.” (Markus 9 : 31). Jika Yesus akan “pergi” (dibunuh dan mati), lalu siapa yang menggantikan posisi-Nya sebagai pemimpin di antara mereka. “Kelompok” mereka haruslah tetap eksis, agar misi Yesus bisa terus diperjuangkan…..

 Sebelumnya, ada desas-desus sekitar permintaan ibunda Yakobus & Yohanes dan mereka sendiri (Lihat Matius 20 : 20 – 21; Markus 10 : 35 – 37). Keluarga Zebedeus dengan Yesus memang masih ada pertalian saudara. Bisa jadi, kedudukan seorang pemimpin di antara para murid akan jatuh ke tangan mereka (suksesi). Atau, jatuh ke tangan murid yang sangat dikasihi Yesus. Bisa Yohanes, bisa juga Petrus. Jadi, ketika berbicara soal “kepergian Yesus”, yang terlintas dalam pemikiran para murid adalah siapa di antara mereka yang dianggap terbesar, yang akan menggantikan posisi Yesus kelak. Mereka tidak memikirkan misi utama Yesus yang seharusnya terus diperjuangkan, tetapi soal kedudukan….

 Atas konflik yang terjadi di antara para murid-Nya, Yesus berkata : “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” (Markus 9 : 35) Tuhan Yesus mengisyaratkan, bahwa suatu keinginan (hasrat) untuk mencapai sesuatu adalah hal yang wajar dan bukanlah dosa. “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu (terbesar)..…” Ucapan Tuhan Yesus itu sekaligus memperlihatkan kepada kita, bahwa janganlah tabu terhadap suatu keinginan, sebab hal itu wajar dalam kehidupan manusia. Tuhan Yesus sendiri punya ambisi untuk melakukan tugas Bapa-Nya di dunia ini, sekalipun Ia sendiri harus siap menanggung salib demi keselamatan umat manusia. Suatu keinginan ibarat obor yang harus terus menyala, yang memberikan dorongan bagi upaya untuk mencapai hasrat tertentu….. Namun apakah mereka memahami makna ucapan Yesus itu ? Ini yang perlu kita lihat bersama.

 Rupanya, para murid hanya berpikir tentang kedudukan/posisi tanpa mengerti apa yang harus dilakukan dan konsekuensi macam apa ketika hal itu tercapai. Banyak orang berkeras untuk mencapai kedudukan tertentu, namun ketika mereka memperolehnya, mereka berkeras juga untuk mempertahankannya tanpa berbuat bagi kepentingan banyak pihak….. Ya, orang cenderung egosentrisme; saya berjuang demi kepentingan dirinya sendiri (popularitas, jabatan, dsb).

 Di sini, Tuhan Yesus menantang para murid-Nya : “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” Apa artinya ? Boleh saja orang punya keinginan dan mengejar keinginan itu, asalkan orang itu bersedia menjadi “terakhir” dan “pelayan” dari semuanya. Orang yang ingin punya kedudukan tertentu dan mengejarkan semestinya juga paham, bahwa dirinya haruslah menjadi orang “yang tidak diperhitungkan” dan “hamba” bagi orang-orang yang dipimpinnya.

 Ucapan Tuhan Yesus ini bukan seperti seorang dosen yang memberi kuliah dengan berbagai pengetahuan yang cemerlang. Ide Yesus tentang yang “terakhir” dan menjadi “hamba” dibuktikan-Nya dengan kesediaan-Nya untuk membasuh kaki para murid-Nya (Yohanes 13 : 4 – 17).

 Tuhan Yesus menjelaskan tentang suatu ambisi dengan gambaran seorang anak kecil. Sambil memeluk anak kecil, Yesus berkata : “Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku.” (Yohanes 9 : 37) Anak kecil menjadi gambaran ketulusan, kebersahajaan, tanpa sandiwara ataupun topeng (maksud lain). Jika punya ambisi, ya lakukanlah itu dengan ketulusan, bukan demi kepentingan ambisi itu sendiri apalagi kekuasaan, melainkan demi kepentingan Tuhan….

PERTANYAAN :
1. Ambisi macam apa yang Anda miliki ?
2. Apa yang Anda lakukan ketika mengupayakan ambisi itu ?
3. Untuk siapa ambisi itu diberikan ?

Read more...

HIDUP MATI ADALAH MILIK TUHAN

Ayub 1 : 1 - 22

• Apa yang menjadi sikap kita manakala dalam hidup terjadi secara mendadak pengalaman pahit yang kita sendiri tidak menginginkannya ? Sikap awal, mungkin kita menolak kenyataan. Kita marah dan jengkel. Kita menjadi orang yang memprotes habis-habisan kedaulatan Allah. Kita menghakimi Allah dengan pernyataan-pernyataan keras kepada-Nya.

• Hidup dan mati adalah milik Tuhan. Hidup ini sebenarnya anugerah Allah, titipan Allah sendiri. Penghayatan ini harus kita miliki dalam hidup. Tanpa penghayatan demikian, kita akan menutup diri dari kenyataan bahwa apapun yang terjadi Allah menuntun hidup kita. Bukan Allah yang menjauh. Artinya, seringkali perasaan sedih, jengkel, tidak senang, benci, tidak menerima dan sebagainya justru dapat menghalangi kita merasakan pertolongan Tuhan yang sesungguhnya.

• Mengenai Ayub, kita tahu jalan hidupnya melalui kisah yang dituturkan oleh Alkitab. Di sana disebutkan, bahwa Ayub adalah orang yang saleh. Hal ini nampak dalam kebiasaannya untuk mempersembahkan korban bakaran bagi anak-anaknya. Oleh karenanya, ia juga digolongkan sebagai seorang yang taat melakukan apa yang harus dilakukan sebagai orang yang beragama. Mungkin hal ini tidak sulit dilakukannya, sebab dia adalah seorang yang terkaya dari semua orang di sebelah Timur. Tepatnya, kita tidak tahu persis karena Alkitab sangat terbatas dalam menjelaskannya. Namun itu bukan inti permasalahan. Yang menjadi inti permasalahan adalah keadaan yang berubah secara drastis yang harus dialaminya. Satu persatu, harta miliknya habis dijarah. Sekalipun secara manusia, keadaan ini cukup untuk membuat orang menjadi shok dan kaget, namun keadaan itu belum seberapa seperti yang Ayub alami. Sebab, tidak berapa lama, ia juga mendengar kabar bahwa anak-anaknya pun mati terbunuh. Belum lagi ia mengerti dan memahami apa yang sedang terjadi, ia sendiri harus menerima kenyataannya bahwa dirinya diterpa penyakit kusta. Tentu saja, ia dijauhi dan dikucilkan oleh orang-orang sekitarnya. Sungguh amat memprihatinkan, sebab ketika kaya, bisa jadi dia adalah orang yang selalu dikunjungi banyak orang (minta tolong, mencari perhatiannya dan sebagainya). Kini, setelah menjadi miskin dan menderita, ia justru dijauhi oleh mereka. Dan penderitaannya tidak hanya itu, ia juga ditinggalkan oleh istri, yang sebenarnya diharapkan dapat memberikannya kekuatan dan penghiburan manakala ia menderita sekian banyak cobaan tersebut. Penderitaan Ayub lengkap sudah : harta benda, anak-anaknya, penyakit, istri yang meninggalkannya dan ia benar-benar dalam keadaan sendiri karena dikucilkan. Secara manusiawi, ia biasa saja memohon untuk mati saja daripada hidup susah begini.

• Namun herannya, terhadap semua peristiwa yang ia hadapi itu, Ayub justru berkata, “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan !” Pertanyaan kita, mengapa ia bisa berkata demikian ? Apakah hanya sekedar ia menghibur diri terhadap semua yang terjadi ? Atau justru itu merupakan ungkapan imannya yang sungguh-sungguh terhadap keadaannya baik hidup maupun mati ?

• Pertama-tama, ia belajar untuk menerima kenyataan yang sedang terjadi. Sekalipun disadari, bahwa apa yang terjadi amat sangat membuatnya menderita dan terpukul, tetapi Ayub justru menyerahkan semuanya kepada Allah. Memang proses ini tidak langsung jadi saat itu juga. Kalau kita perhatikan, ia juga protes kepada Allah. Terlebih ketika teman-temannya menuduhnya telah berdosa (Pandangan orang-orang saat itu menyatakan, bahwa bila seseorang menderita, ini selalu ada kaitannya dengan dosa tertentu yang dilakukan oleh orang tersebut. Padahal, hal itu tidak seharusnya demikian). Ia berontak… Ia merasa tidak puas mengapa ia dituduh dan ditekan demikian. Ia menjadi orang yang berkeras hati. Ini membuatnya menjadi orang yang tinggi hati. Namun dalam proses itu, Ayub sungguh mengalami perubahan hidup yang sangat berarti. Ia berani menerima kenyataan pahit itu dan ia berani memulai sesuatu yang baru dengan hati yang lapang dada.

• Kedua, ia mengalami sendiri Allah dalam hidupnya. Mungkin kita mengenal Allah hanya sebatas pengetahuan saja. Mungkin kita mengenal Allah sebatas apa yang pernah disampaikan oleh orang lain, bahwa Allah itu ini dan itu. Tetapi mampukah seseorang mengatakan hal yang sama ketika ia mengalami penderitaan seperti Ayub ? Ini yang penting. Bisa jadi, orang merasa terpukul dan tidak mau lagi percaya kepada kemahakuasaan Tuhan. Bisa jadi, orang malah berbalik dari-Nya dan membenci Allah. Berbeda dengan Ayub, sekalipun ia mengalami penderitaan hidup sedemikian berat, ia justru merasakan kehadiran dan mengenal Allah secara pribadi. Mengapa ? Sebab ia bergumul di dalam Tuhan. Ia tidak lari dari kenyataan. Ia berani menghadapi kehidupannya yang pahit bersama Allah. Di situlah ia belajar mengenal Allah. Dan benar, belajar mengenal Allah tidak sebatas pengetahuan saja. Tidak juga hanya menurut perkataan oang saja, tetapi ia sendiri menghayati di dalam hidupnya sendiri (Ayub 42 : 5).

• Dengan mengenal Allah demikian, ia menjadi orang yang rendah hati. Ia bersyukur atas apa yang dialaminya itu. Ternyata, ada hikmat di balik semuanya itu.

Read more...

PUASA YANG MUNAFIK

Zakaria 7 : 1 - 14

PENDAHULUAN
Pernahkah kita merasakan, bahwa ibadah atau doa-doa kita seakan-akan tidak dijawab oleh Tuhan ? Tidak sedikit orang pernah mengeluhkan hal itu. Ketika Tuhan dirasakan diam saja terhadap keadaan hidupnya, tentunya orang merasa berjalan sendiri dan tidak tahu lagi harus berbuat apa jika Tuhan tidak mau turut campur.

Sebenarnya, pengalaman para penduduk Betel tidak jauh berbeda dengan kita. Mengapa demikian ? Mari kita lihat latar belakang persoalannya. Pada jaman nabi Zakaria, bangsa Israel telah bebas dari penjajahan Babel dan mereka telah kembali ke negrinya dari pembuangan di Babel. Karena Bait Suci telah dihancurkan, maka mereka membangun kembali. Namun mereka merasa ragu apakah pantas bagi mereka untuk melanjutkan ibadah puasa yang diadakan sebagai peringatan kepada masa-masa bencana dalam sejarah mereka yang silam. Sebab, mereka beranggapan bahwa selama ini Allah tidak berbuat apa-apa terhadap pengalaman pahit yang mereka alami selama Babel menjajah dan membuang mereka. Selama masa pembuangan, mereka tetap melakukan kewajiban tersebut, namun pada kenyataannya mereka tetap saja menderita bahkan penderitaan itu semakin hebat. Pikir mereka, Allah seakan-akan telah mengeraskan hati-Nya dan tidak mau peduli lagi dengan keadaan mereka. Itulah sebabnya, mereka menjadi putus asa dan berkata, “Haruskah kami sekalian menangis dan berpantang dalam bulan yang kelima seperti yang telah kami lakukan bertahun-tahun lamanya ?” (ayat 3b)

Atas pertanyaan bangsa Israel, Allah memberikan jawaban melalui nabi Zakaria. Orang-orang ini mungkin dengan jujur telah mencari keterangan tentang soal melanjutkan puasa, tetapi jawaban nagi itu menyatakan bahwa mereka tidak mengemukakan alasan yang benar dari sebagian besar orang buangan yang telah kembali itu. Apa sebabnya ? Nabi menjelaskan, bahwa kebaktian-kebaktian mereka hanya merupakan upacara saja (ayat 5 & 6).

Apa dasar Tuhan menyatakan hal demikian ? Puasa bukan sekedar kegiatan seremonial keagamaan saja. Orang yang berpuasa adalah orang yang mau belajar untuk mengekang hawa nafsu dan mengendalikan diri dari segala larangan Tuhan. Berbeda dengan motivasi mereka. Mereka berpuasa justru untuk mendapatkan sesuatu. Boleh dibilang, mereka berpuasa tapi berpamrih untuk mendapat belas-kasihan Tuhan. Dan seringkali terjadi, orang yang berpuasa hanya sebagai topeng kemunafikan belaka. Sekalipun mereka berpuasa, namun hati mereka tidak taat. Padahal Allah selalu mengingatkan umat untuk melakukan kebenaran yang praktis, yang diungkapkan dalam keadilan, kemurahan dan kasih sayang kepada semua orang (ayat 9). Mereka diingatkan kepada suatu perintah khusus dalam Taurat (ayat 10; bandingkan Keluaran 22 : 21 – 22).

“Tiga derajat kedegilan hati disebut dalam ayat 11: mereka tidak mau menghiraukan; mereka melawan orang-orang yang memberi peringatan; dengan terang-terangan mereka menghina nabi-nabi itu.” Sikap itu memuncak dalam ayat 12 – “Mereka membuat hati mereka keras seperti batu amril.” (seperti batu intan) Allah berseru kepada mereka dengan perantaraan para nabi, namun mereka tidak mau mendengarkan. Mereka berseru kepada Allah dalam kesusahan mereka, namun Ia tidak mau mendengarkan (ayat 13). Sebagai akibatnya, hukuman yang hebat akan menyusul (ayat 14).

Apa artinya bagi kita ? Ibadah yang benar adalah ibadah keseluruhan hidup kita (Roma 12 : 1) Ibadah yang benar adalah totalitas hidup kita. Ibadah juga bukan bertujuan agar kita memperoleh sesuatu (pamrih) atau untuk menunjukkan diri sebagai orang yang saleh. Ibadah justru memacu kita untuk hidup dengan sikap rendah hati dan berani memberlakukan kasih secara nyata.

Read more...

PENGAMPUNAN YANG MENYEMBUHKAN

Matius 9 : 1 - 8

Kisah tentang seorang ibu yang mengalami kecelakaan sehingga kakinya yang hancur tersebut perlu segera dioperasi. Beberapa saat ketika ibu ini akan memasuki ruang operasi, keluarganya datang dan mengatakan : “Inilah akibat dosa yang kamu lakukan. Seharusnya kamu segera bertobat.” Kata-kata ini dirasakan amat pahit diterima oleh si ibu dan ia memutuskan untuk membatalkan operasi tersebut karena mentalnya tidak siap.

Ada kontroversi tentang sakit-penyakit dan dosa.
(1). Penyakit dikaitkan dengan dosa tertentu. Dalam masyarakat timur, pandangan seperti ini seringkali muncul dan terus dipertahankan, sehingga memunculkan pandangan yang seakan-akan “menghakimi” mereka yang sakit dan tidak sembuh-sembuh.
(2). Tidak ada kaitan sama sekali. Orang menderita sakit karena cara dan gaya hidup yang salah. Misal : suka sate kambing sehingga terkena serangan jantung.
(3). Apatis. Artinya, tidak berkiblat kepada salah satu dari kedua pandangan tersebut. Mereka lebih memikirkan untuk memfokuskan pada upaya penyembuhan terhadap penyakit tersebut.

Kita tahu, bahwa kita tidak pernah diberi hak untuk menilai apalagi menuduh penyebab sakitnya seseorang secara sembrono, meski Alkitab secara terbuka mengatakan memang ada sakit penyakit yang disebabkan oleh dosa. Karena itu, kita sebaiknya belajar dari sikap Yesus terhadap orang yang menderita sakit lumpuh.

Ada beberapa fakta yang perlu kita renungkan bersama :
(1). Ada seorang yang sakit lumpuh diusung oleh beberapa orang untuk menjumpai Yesus. Yesus melihat iman mereka sehingga mengatakan kepada yang lumpuh tersebut : "Percayalah, hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni." Catatan : Tidak dijelaskan mengapa orang itu menderita sakit lumpuh dan sejak kapan. Juga tidak dijelaskan upaya yang dilakukan orang-orang yang mengusungnya selain mengusung sehingga Yesus melihat iman mereka. Markus 2 : 1 – 12 dan Lukas 5 : 17 – 26 lebih memperlihatkan perjuangan orang-orang yang mengusungnya sebagai tanda kesungguhan mereka untuk meminta Yesus menyembuhkannya.

(2). Perkataan Tuhan Yesus itu bisa disebabkan banyak hal. (a). Yesus tahu dosa-dosa orang yang lumpuh tersebut sebab Dia adalah Tuhan yang serba mengetahui. (b). Yesus mendemonstrasikan hak ke-Ilahi-an-Nya di depan banyak orang yang sedang mendengar pengajaran-Nya. (c). Adanya anggapan yang beredar di sekitar mereka, bahwa penyakit tertentu disebabkan oleh dosa (lumpuh, buta, kusta dsb). Karenanya, agak mustahil mengharapkan mereka mengucapkan kata-kata yang sangat menguatkan, seperti yang Yesus lakukan terhadap si lumpuh.

(3). Orang yang lumpuh tersebut mengalami pemulihan sekaligus pengampunan dosa oleh Yesus sebab Dia berkuasa atas kedua hal tersebut.


Pertanyaan-Pertanyaan :
1. Apa maksud sakit-penyakit yang kita derita ?
2. Mengapa selain meminta karunia kesembuhan, juga perlu ada permohonan pengampunan kepada mereka yang menderita sakit ?

Read more...

KUAT DI LUAR, RAPUH DI DALAM

Matius 23 : 25 - 28

“Kuat di luar namun rapuh di dalam” menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Jika itu diibaratkan buah, maka apa yang nampak dari luar belum tentu menjamin isi yang bagus di dalamnya. Biasanya buah seperti itu tidak kita inginkan. Pilihan yang terbaik adalah keadaan luar (penampilan) dan keadaan dalam (isi) sama-sama mendukung. Nah, bagaimana jika hal itu menyangkut kehidupan manusia ?

Perjanjian Lama pernah menceritakan kisah seorang Hakim bernama Simson. Ia memiliki kelebihan sebagai karunia Tuhan, yakni memiliki kekuatan yang luar biasa sehingga setiap kali peperangan, ia selalu memenangkannya bagi bangsanya. Tenaga yang kuat itu adalah anugerah Tuhan baginya, agar ia dapat menjalankan fungsinya sebagai “hamba Allah”. Namun karunia itu tidak dibarengi karakter yang baik. Ia mudah jatuh hanya karena wanita. Itulah tumit arkhilesnya. Akibatnya, pekerjaan dan kemampuan yang tampak di luar bisa saja tidak memberikan gambaran sesungguhnya tentang mutu rohani dan hubungan kita dengan Tuhan. Seharusnya apa yang tampak dalam kegiatan di luar kita merupakan hasil dari hubungan patuh dan teguh dengan Tuhan.

Tuhan Yesus berkata dengan nada keras : “…di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan.” Perkataan Tuhan Yesus ini ditujukan kepada kaum Farisi dan para ahli Taurat. Memang, ada konflik yang terjadi dan itu cukup tajam antara Yesus Kristus dengan mereka. Konflik itu berjalan sejak Ia memulai tugasnya untuk mengajarkan tentang kasih dan memberikan keselamatan bagi dunia ini. Kali ini, nada keras itu malah berupa kecaman. Pertanyaan kita, mengapa Yesus mengecam mereka begitu kerasnya ? Apa alasan-Nya sehingga Ia berkata demikian ? Mari kita telusuri bersama.

Bagi umat Yahudi, kaum Farisi dan para Ahli Taurat adalah para cendekia agama yang disanjung dan dipuja. Hal ini dapat dimengerti, sebab mereka amat serius dengan agama. Apapun yang tertulis dalam Kitab Suci ditaati. Satu titik dan komapun tak terlampaui (Setiap hari mereka berdoa minimal 3 kali; setiap bulan mereka memberikan perpuluhan; Puasa dijalankan dan ibadah tidak pernah terlewatkan. Mereka bahkan menambahkannya dengan hukum-hukum ciptaan sendiri. Pendek kata, mereka adalah orang-orang yang relogius, rohaniawan sejati.

Bila benar begitu, mengapa Yesus amat mengecam mereka ? Jawabnya adalah, karena kecongkakan rohani mereka itulah. Agama mereka adalah agama “perbuatan baik”. Setiap perbuatan baik adalah prestasi, dan prestasi berarti hak untuk menerima ganjaran, upah dan pahala. Jadi, apapun yang mereka terima (keselamatan) adalah hasil keuletan mereka dan bukanlah hadiah (anugerah), sehingga mereka berhak untuk merasa berbangga diri dan sombong. Di hadapan Allah, mereka menuntut, tak meminta lagi (seperti anak bungsu yang menuntut kepada ayahnya “bagian harta milik yang menjadi haknya”).
Kesombongan rohani ini nampak juga dalam sikapnya menilai dan menghakimi orang lain menurut ukuran dan kaca mata mereka. Yang berbeda dengan mereka dianggap kafir, sesat dan berdosa. Apalagi kalau bukan kecongkakan rohani ? Mereka bukan saja mengangkat kepala di hadapan Allah dengan sikap menagih hutang, melainkan juga mengangkat dagu di hadapan sesama dengan sikap seorang hakim rohani.

Yesus tidak menyukai hal ini, sebab iman yang Ia perkenankan, bukanlah iman yang menghakimi, tetapi iman yang siap mengampuni. Yesus tidak menyukai hal ini, sebab iman yang Ia kehendaki adalah iman yang menundukkan diri di hadapan Allah, dalam kesadaran akan ketidak-layakkan sendiri; serta menundukkan diri di hadapan sesama, dalam kesediaan untuk melayani.

Yesus sangat tidak menyukai hal ini, sebab dengan sikap seperti itu, agama lalu menjadi belenggu yang memenjarakan. Iman menjadi sarat oleh beban dan kewajiban, tak lagi membebaskan. Hidup pun lalu kehilangan sentuhan kasih, sebab hidup diukur menurut hitam atau putih.

Itulah sebabnya, Yesus menyebut mereka sebagai orang-orang munafik. Sebab cawan dan pinggan dibersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalamnya penuh rampasan dan kerakusan. Bagi-Nya, apa yang dilakukan oleh mereka tidak ada faedahnya sama sekali. Menekankan soal penampilan dibandingkan isi hati hanya menjadikan orang-orang yang hidup bertopeng.

Itulah sebabnya, Yesus menyebut mereka sebagai orang-orang durjana. Sebab mereka sama seperti kuburan yang indah luarnya saja karena dilabur putih dan nampak bersih, tetapi sebelah dalamnya layaknya mayat yang penuh tulang-belulang dan berbau tidak menyedapkan.

Sebaliknya, Yesus amat dibenci oleh mereka. Yesus dianggap sebagai pemimpin rohani yang urakan, dianggap terlalu “liberal”. Sebab Ia memperhatikan yang tersirat, bukan yang tersurat. Bagi mereka, Yesus adalah pemimpin yang plin-plan. Tidak konsisten dan konsekuen, sebab Ia lebih suka mengampuni daripada menghakimi. Bagi mereka, Yesus adalah tokoh berbahaya, menyesatkan dan menggoncangkan iman umat. Sebab bila bekas pelacur dijadikan sahabat, di mana lagi norma dan martabat ?!
Memperhatikan kedua sikap di atas, maka gaya hidup kaum Farisi dan para ahli Taurat lebih dekat dengan kehidupan dan cara berpikir kita. Sedangkan sikap Yesus begitu berlawanan dengan naluri keagamaan kita. Inilah yang menjadi kecaman Yesus kepada mereka.
Tak banyak orang memiliki kerendahan hati untuk menerima sesuatu dari Tuhan dengan cuma-cuma. Jauh lebih banyak orang yang ingin berbuat sebanyak-banyaknya untuk Tuhan, agar merasa berhak menerima sebanyak-banyaknya pula dari Tuhan.
Tak banyak orang memiliki kerendahan hati untuk menerima orang lain seperti apa adanya. Jauh lebih banyak orang yang menuntut sesama sama seperti mereka, daripada seperti Yesus Kristus yang bersedia mengosongkan diri-Nya sendiri dan menempatkan pada posisi sesama (Filipi 2 : 5 – 8).

Apa makna kecaman Yesus kepada mereka bagi hidup kita ? Sesuatu yang ada di luar (penampilan, kesibukan pelayanan, dsb) harus berkaitan erat dengan apa yang ada di dalam (keadaan rohani yang bersumber pada hubungan yang dekat dan benar dengan Tuhan). Penampilan yang baik atau pelayanan yang baik harus didukung oleh sikap hati yang benar di hadapan Allah. Tanpa itu, penampilan kita sebaik apapun, atau pelayanan kita sesibuk dan sebanyak apapun, tokh tidak ada maknanya sama sekali, meskipun dilihat oleh banyak orang. Jika itu berkaitan dengan pelayanan, maka pelayanan kita tidak untuk dijadikan dasar berbangga diri, apalagi bersombong diri. Pelayanan kita semata-mata karena anugerah Tuhan; Ia memberikan kesempatan untuk kita mengakualisasi diri atas kesempatan dan talenta yang telah Ia berikan. Ia memberikan kesempatan untuk kita menyatakan rasa syukur atas hidup dan keselamatan yang telah kita terima dari-Nya, dan bukan untuk berpamrih.

Read more...

About This Blog

  © Free Blogger Templates Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP