HIDUP SEBAGAI PILIHAN

>> Jumat, 21 Agustus 2009

Renungan Minggu, 23 Agustus 2009 (Minggu Biasa XVI)

Bacaan I (Yosua 24 : 1 - 2, 14 – 18); Antar Bacaan (Mazmur 34 : 16 – 23); 
Bacaan II (Efesus 6 : 10 – 20); Injil (Yohanes 6 : 56 – 69)


Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus,
Sebuah film kartun berjudul “Pocahontas” menceritakan tentang kisah hidup seorang gadis dari suku pedalaman. Suatu ketika, ia mengarungi sebuah sungai besar, dengan panorama yang begitu indah. Maka sampailah ia ke sebuah persimpangan dan ia mendadak berhenti. Di depannya terdapat dua cabang sungai : di sebelah kiri terdapat anak sungai yang lebar, tenang dan damai, di mana tidak akan menemukan kesulitan bila berlayar ke arah itu; sedangkan yang satunya adalah anak sungai yang berbatu, lebih sempit dengan arus yang sangat deras, sehingga bila berlayar ke anak sungai itu pastilah akan menemukan banyak persoalan.

Situasi itu ingin menggambarkan pergumulannya : di satu sisi, ia punya pilihan untuk menikah dengan seorang pemuda pilihan orangtuanya. Pemuda itu adalah idaman setiap wanita di sukunya, calon pemimpin suku mereka. Ia sadar, jika pilihannya adalah pria itu, maka jalan hidupnya akan lancar tanpa hambatan. Akan tetapi pilihan yang lain dan terus menggodanya adalah kedamaian hidup bersama orang yang dicintainya, pujaan hatinya, yang masih menjadi sebuah mimpi karena pemuda yang dimaksud itu belum ada. Manakah yang ia pilih ? Ternyata ia memutuskan untuk berlayar ke arah anak sungai yang deras dan berbatu, dengan harapan ia menemukan kedamaian itu sekalipun harus melawan segala kesulitan dan kesusahan……

Saudara,
Film itu sebenarnya ingin menggambarkan kondisi hidup kita yang sebenarnya. Hidup di jaman modern yang menyediakan segala kemudahan dan serba instan ini telah memberikan banyak pilihan…… Mungkin kita bisa memilih untuk hidup sebagai seorang pengusaha dengan bergelimang harta benda; Mungkin pilihan hidup kita adalah punya banyak istri, seperti Syekh Puji; Mungkin pilihan hidup kita adalah sebagai hamba Tuhan, pendeta; Atau mungkin pilihan hidup kita adalah pelayanan selama masih bernapas; Mungkin ada juga yang punya pilihan hidup sebagai legislator, dsb. 

Apakah pilihan hidup itu berawal dari pihak lain atau diri sendiri, tokh kita harus memutuskan secara pribadi untuk memilih yang mana. Idealnya, pilihan hidup kita adalah suatu kedamaian, kebahagiaan, kesukacitaan dsb. Pilihan itu bukan terfokus pada materi maupun bendawi, tetapi kepada hidup yang berkualitas (bermutu)…. Namun kita harus ingat, seperti kata pepatah “You are what you choose”. Pilihan hidup Anda memperlihatkan siapa diri Anda di mata Tuhan dan sesama ….. Jadi janganlah heran, bila seandainya pilihan Anda adalah hal-hal yang materi dan bendawi, maka itulah gambaran hidup Anda; Jika pilihan hidup kita adalah kekuasan, maka Anda akan berbuat apa saja demi kekuasaan dan berkuasa….

Kitab Yosua 24 : 1 - 2, 14 – 18 memperlihatkan figur Yosua sebagai seorang demokrat, yang mengajak bangsa Israel memilih kepada siapa mereka akan beribadah. Sebab Tuhan Allah telah nyata menolong dan menyertai kehidupan mereka sejak di Mesir, ketika dalam perjalanan menuju Tanah Perjanjian, dan setelah mereka merebut dan tinggal di negeri yang telah Tuhan siapkan itu. Pertolongan dan penyertaan Tuhan tidaklah sedikit, seperti perbuatan ajaib yang membebaskan (tulah-tulah), memberi makan (manna dan burung puyuh), memberikan keteduhan dan memimpin dalam segala hal. Sekalipun Yosua akui, bahwa Tuhan tidak selalu memenuhi keinginan dan harapan mereka atau terlambat bertindak untuk menolong mereka. Sebab, pikir Yosua, Tuhanlah yang punya rencana atas diri mereka dan bukan sebaliknya. Bukan mereka yang menentukan tindakan dan jalan pikiran Tuhan.... Namun bagi Yosua, kasih Allah tidak terbantahkan. Itulah yang Yosua rasakan dan alami, sehingga ia tidak segan-segan menyatakan pilihannya bersama seisi rumahnya. Ia berkata : “……… Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN !" (Yosua 24 : 15b) 

Pilihan Yosua ini tentu mengandung konsekuensi logis. Bila keputusannya untuk menyembah dan beribadah kepada Tuhan, maka prioritas hidupnya hanyalah Allah semata. Tidak ada alasan apapun untuknya menggantikan posisi Allah itu dalam hidupnya. Sekali Tuhan yang dipilihnya, maka tetaplah Tuhan yang ia utamakan dalam hidupnya…..

Begitu juga pilihan Petrus, seperti yang diceritakan Yohanes 6 : 56 – 69. Mewakili teman-temannya sesama murid Yesus, Petrus tetap konsisten dan konsekuen dengan pilihannya untuk mengikut Yesus, walau banyak orang lantas kecewa meninggalkan Yesus. Pilihan itu tidak dapat diganggu-gugat, sekalipun ucapan Yesus tidak jarang sulit untuk dipahami dan dimengerti. Mungkin karena hal inilah yang membuat banyak orang kecewa dan meninggalkan Yesus. Mereka tidak mengerti apa maksud ucapan Yesus soal “makan daging-Nya dan minum darah-Nya akan beroleh hidup yang kekal”. Bagi mereka, kata-kata itu terlalu berlebihan. Mereka tahu latar-belakang Yesus. Itulah sebabnya, mereka tidak yakin bahwa Yesus mampu memberikan kehidupan yang kekal. Mereka akui, bahwa Yesus mampu menyatakan kuasa dan mujizat yang luar biasa; mereka akui bahwa Yesus mampu mengajar dengan sangat indah dan memberikan kekuatan kepada para pendengar-Nya. Namun ucapan Yesus itu dianggap omong kosong belaka, sehingga mereka meninggalkan-Nya….

Orang-orang seperti ini di jaman sekarang sangat banyak. Mereka yang mengandalkan logika untuk segala hal, tentu sulit memahami dan mengerti apa artinya beriman. Orang kepengen, semua ucapan dan tindakan Allah seharusnya dapat dicerna oleh akal-logika mereka….. Pikiran dan tindakan Allah bukanlah irasional…. Misalnya : Jika seorang bayi yang baru dilahirkan kemudian mati, maka hal itu bisa dijelaskan dengan logika; jika orang menjadi menderita bukan karena kesalahannya, hal itu seharusnya dapat dijelaskan dengan logika; jika seumur hidup orang harus mengalami kesusahan atau ketika harapan-harapannya tidak juga dipenuhi oleh Tuhan, itu seharusnya ada penjelasannya secara logika. Ya, manusia sekarang ini ingin menjalani hidup serba instan, segalanya bisa ditebak dan diatur, sesuai keinginannya dsb… Bahkan ketika mereka merasa bahwa kehendak Tuhan dapat diatur oleh jalan pikirannya, barulah mereka menjadi percaya. Jika tidak demikian, maka Tuhan telah mengecewakan dan mereka meninggalkan-Nya. Padahal kita paham betul, bahwa beriman kepada Tuhan bukanlah demikian. Beriman ada konsekuensinya, yakni menaruh kepercayaan penuh kepada apa yang ingin Allah buat dalam hidup kita…. Jika Tuhan punya rencana lain yang berbeda dengan rencana dan kehendak kita, maka rencana-Nyalah yang harus kita ikuti dan indahkan. Sebab kita yakin betul, bahwa Tuhan kita baik dan selalu punya rencana indah dalam hidup kita……

Di sinilah, ketika kita harus mengerti dengan sepnuh hati, bahwa ketika kita telah menentukan pilihan hidup, kita tidak lepas dari konsekuensi yang harus kita jalani sebagai bentuk konsistensi atas pilihan kita itu…. Memang tidak mudah ketika pilihan hidup kita adalah Tuhan …, sebab kita harus berani untuk kecewa ketika segala keinginan yang tidak sesuai rencanan-Nya tidak Ia penuhi dalam hidup kita…..

Itulah sebabnya, melalui tulisannya dalam Efesus 6 : 10 – 20, Paulus menuliskan pesan moral-etis sebagai piranti penting dalam menentukan pilihan atas hidup kita.
(1). Perlengkapan senjata Allah untuk melawan iblis dan para pemimpin, penguasa, penghulu dan roh jahat yang berkeliaran “mempergelap” hidup ini pada hari yang jahat pula (ayat 10 - 13). 
(2). Berdiri tegap memperjuangkan kebenaran, keadilan, kerelaan dan damai sejahtera sebagai nilai-nilai utama kala memilih (ayat 14 – 15).
(3). Pergunakanlah perisai iman untuk memadamkan panah api si jahat yang sewaktu-waktu siap menyerang dan mengganas (ayat 16 – 17).
(4). Tetap waspada dan rajin berdoa tiada putus supaya ada keberanian untuk mengatakan dan memberitakan kebenaran rahasia Injil (ayat 18 – 20).

Daud bercerita tentang pengalaman imannya, yang tertuang dalam Mazmur 34 : 16 – 23. “Kecaplah dan lihatlah betapa baiknya Tuhan itu”. Perkataan Daud ini merupakan ajakan dan pengajarannya kepada setiap orang, supaya mereka mewarisi cara hidup yang mencintai kebaikan dan perdamaian. Mengapa ? Bagi Daud yang mengalami kebaikan dan perlindungan Tuhan, cara bersyukur dengan sikap hidup mengasihi dan menyemaikan perdamaian adalah pilihan hidup yang seharusnya kita pilih. Sebab Tuhan, yang kita sembah, akan senantiasa dekat dengan orang benar dan takut akan Dia. Mata-Nya melihat dengan cermat dan telinga-Nya mendengar dengan benar apa saja yang dialami oleh orang-orang benar. Bahkan tatkala kesesakan, patah hati dan kemalangan menimpa mereka, Tuhan siap sedia melindungi dan menyelamatkan mereka. Itulah jaminan Tuhan, yang niscaya dipenuhi-Nya bagi mereka yang menentukan pilihan hidup sebagai orang-orang benar. Apa pilihan Anda ?


Read more...

ANAK MILIK SIAPA ?

>> Senin, 17 Agustus 2009

Mazmur 127 : 1 - 5

Seorang filsuf ternama, yakni Kahlil Gibran pernah menuliskan perenungannya mengenai anak demikian :

Anakmu sebenarnya bukan milikmu.
Mereka adalah anak Sang Hidup yang mendambakan hidup mereka sendiri.
Mereka memang datang melalui kamu,
tetapi mereka bukan milikmu.
Engkau bisa memberi kasih sayang,
tapi engkau tidak bisa memberikan pendirianmu,
sebab mereka memiliki pendirian sendiri.

Engkau dapat memberikan tempat pijak bagi raganya,
tapi tidak untuk jiwanya,
sebab jiwa mereka ada di masa depan yang tidak bisa engkau capai
sekalipun dalam mimpi.
Engkau boleh berusaha mengikuti alam pikiran mereka,
tapi jangan harap mereka dapat mengikuti alammu,
sebab hidup tidaklah surut ke belakang,
tidak pula tertambat di masa lalu.
Engkau adalah busur dari mana bagai anak panah,
kehidupan anakmu melesat ke amsa depan.
Sang Pemanah maha tahu saaran bidikan keabadian.
Dia merentangmu dengan kekuasaan-Nya,
hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat,
sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap.
Terlepas apakah ia pernah membaca Mazmur ini, namun pemahaman mengenai siapa anak dalam kehidupan orangtua sangatlah jelas dan hampir mirip. Secara sederhana ia hendak mengatakan, bahwa seorang anak dalam kehidupan orangtua adalah titipan Tuhan. Orangtua tidak bisa memaksakan kehendaknya untuk menentukan hdiup si anak. Si anak punya kehidupannya sendiri. Fungsi orangtua adalah mendorong si anak (bagai anak panah yang melesat jauh) kepada mas depannya sendiri.

Jiwa dari pandangan Kahlil Gibran lebih jelas tertangkap oleh pemaparan Pemazmur mengenai anak. Milik siapakah seorang anak ?

Untuk menjawab pertanyaan itu, Pemazmur mengawali pemahamannya mengenai gambaran kehidupan rumah tangga. Ia menyebutkan, bahwa sebuah rumah tangga dapat bisa dibangun, apakah dengan kekuatan dan kemampuan orang-orang yang ada di dalamnya, atau oleh Tuhan. Ada perbedaan yang mendasar di sini ! Bila sebuah rumah tangga dibangun dengan kekuatan dan kemampuan orang-orang yang ada di dalamnya dapat runtuh. Ia bagaikan bangunan yang berada di tepi pantai dan ketika ombak mengantam maka rubuhnya bangunan itu. Namun bila ia dibangun di dasar kekuatan Tuhan, maka bangunan itu akan tetap berdiri kokoh dan mendapatkan kemuliaan dari Tuhan. Mengapa ?

Hidup manusia tergantung sepenuhnya oleh berkat dan anugerah dari Allah. Manusia tidak bisa dengan kekuatannya sendiri memperoleh semua apa yang diharapkan. Sehebat apapun manusia itu, bila tanpa perkenan dan kehendak Tuhan, maka semua usahanya akan menemukan kesia-siaan belaka. Sebab Tuhanlah yang menentukan semua berkat yang diperoleh manusia, baik segala miliki yang bersifat materi, juga anak-anak.

Memang anak adalah buah cinta kasih laki-laki dan perempuan yang bersatu dalam pernikahan kudus. Namun keberadaannya adalah kehendak Tuhan. Tuhanlah yang memberikan dan menganugerahkannya. Tuhanlah yang berkehendak ! Kita sering mendengar, bahwa banyak pasangan suami-istri yang begitu susahnya memperoleh seorang anak. Padahal segala usaha telah dilakukannya demi memperoleh anak. Bahkan banyak hal telah dikorbankan, termasuk uang dan harta dihabiskannya demi mendapatkan seorang anak. Ini berarti, bahwa usaha manusia bukanlah yang paling utama dan pertama, melainkan Tuhanlah yang berperan dan menentukan, sehingga setiap pasangan nikah harus memintanya kepada Tuhan sebagai sumber berkat.

Di sini, anak dalam kehidupan orangtua tidak lain merupakan anugerah-Nya, yang dititipkan kepada orangtua untuk diasuh, dididik, dikasihi dan dipenuhi segala kebutuhannya (jasmani, rohani, mental dan spiritual). Dasarnya karena Tuhan mengehendaki agar anak juga merasakan bahwa Tuhan Allah adalah kasih (bdk. Ulangan 6 : 4 – 9).

Karena sifatnya titipan, maka tanggung-jawab orangtua bukan sekedar memenuhi kebutuhan jasmani dan rohaninya belaka, tetapi juga belajar memahami bahwa masa depan si anak bukan terletak pada kuasa dan kehendak orangtua. Orangtua mempunyai kewajiban untuk mendorong si anak memilih jalan hidupnya yang terbaik baginya. Ia bagaikan anak panah yang melesat jauh. Orangtua berperan memberikan bekal sebanyak-banyaknya kepada anak sehingga si anak dapat mementukan apa yang terbaik bagi dirinya sendiri.

Read more...

About This Blog

  © Free Blogger Templates Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP