TAKUT HIDUP, TAKUT MATI

>> Jumat, 11 September 2009

Mazmur 23 : 1 – 6

Saudara-saudara yang terkasih dalam Tuhan Yesus Kristus,
Di dalam dunia ini banyak orang yang takut hidup, namun tidak sedikit pula yang takut mati. Atau istilah yang sering dipergunakan oleh kebanyakan orang adalah “Hidup enggan, mati tak mau…”

Mengapa orang merasa takut hidup ? Ada banyak alasan : beban kehidupan yang makin berat menindih; karena tidak jelas masa depan kita; karena kehidupan manusia yang semakin keras; karena bekal diri tidak cukup, dst.

Mengapa orang merasa takut mati ? Ada banyak alasan. Misalnya : orang merasa belum siap untuk menghadap Tuhan, sebab dirinya terlalu banyak memiliki dosa; Mungkin juga karena masih banyak yang ingin ia kerjakan, atau ada banyak keinginan yang belum terwujud….dst.

Apa yang terjadi terhadap mereka yang takut hidup dan takut mati ? Mereka merasa hidupnya selalu dihinggapi oleh keresahan dan kebimbangan. Akibatnya, mereka tidak mampu merasakan indahnya kebahagiaan yang sejati. Yang dibutuhkan orang-orang semacam ini adalah suatu pegangan, yang memungkinkan mereka memiliki kekuatan dan pengharapan. Bagaimana hal itu dapat diperoleh ?

Mazmur 23 ini, adalah sebuah puisi yang indah dan agung, bukan karena dipenuhi dengan kata-kata yang muluk-muluk. Walaupun bentuknya amat sederhana, namun mazmur ini merupakan sebuah kesaksian dari seseorang yang menyaksikan peran nyata Allah dalam hidupnya.

Ya, pemazmur itu adalah Daud. Kita sering membayangkannya sebagai tokoh hebat, digdaya dan populer di jamannya. Kita sering membicarakan segala keberhasilannya ketika melawan goliath, seorang Filistin yang bertubuh raksasa hanya dengan sebuah ketapel. Apalagi Daud selalu memenangkan peperangan melawan musuh-musuhnya, sehingga kita merasa bahwa hidupnya selalu dilingkupi kebahagiaan & kesukacitaan. Benarkan demikian ?

Saudara,
Sebenarnya, Daud, yang bertubuh kecil dan kesukaannya bermain kecapi itu, tidak ubahnya seperti kita semua. Ia pernah jatuh ke dalam dosa. Ia juga pernah mengalami ketakutan luar biasa untuk menjalani hidup. Sebab para musuhnya siap untuk mengalahkan, menggempur dan membunuhnya. Terbukti, ia pernah berdoa agar Tuhan mengutus seseorang yang mampu menolongnya ketika ia dikejar-kejar oleh para musuhnya, terutama Saul yang selalu merasa iri hati kepadanya (Mazmur 57 : 4, “Kiranya Ia mengirim utusan dari sorga dan menyelamatkan aku, mencela orang-orang yang menginjak-injak aku. Kiranya Allah mengirim kasih setia dan kebenaran-Nya.”). Ya, Daud pun pernah mengalami ketakutan yang luar biasa. Ia takut menjalani hidup yang berat. Ia juga takut mengalami kematian yang sia-sia.

Namun pada masa tuanya, Daud mengenang kembali masa-masa berat dalam hidupnya itu. Dan ia menyadari, bahwa di sepanjang hidupnya ternyata Tuhan tidak pernah meninggalkannya. “Tuhan adalah gembalaku”, demikian tutur Daud. Apa artinya ? Daud merasakan dan mengalami secara pribadi peran Allah yang besar dalam hidupnya. Allah ibarat gembala, yang selalu memimpin, menghibur, menolong dan memulihkannya. Ya setiap titik pada garis pengalaman hidup Daud tidak pernah sedikitpun terluput dari pemeliharaan Allah yang waspada dan penuh kasih.

Mungkin kita pernah mengalami ketidak-berdayaan, tidak tahu harus berbuat apa, lalu muncullah orang-orang yang tidak terduga, peristiwa-peristiwa yang tidak terduga dan kita tertolong ! Apa pendapat saudara tentang hal itu ? Kebetulankah ? Atau, “TUHAN itu memang Gembala kita, sehingga kita sungguh-sungguh tidak kekurangan ?
Di dunia ini tidak sedikit orang yang merasa tidak berdaya menghadapi berbagai ragam tekanan dan ketegangan hidup. Banyak orang lantas menderita kelelahan mental. Masalah besar dalam hidup ini adalah bagaimana manusia dapat memulihkan tenaganya, membaharui kekuatan tubuhnya dan jiwanya, menimbulkan rasa mampu dalam menghadapi tekanan dan ketegangan.

Hanya, yang sangat disayangkan, adalah banyak orang mencoba mencari jalan keluar dengan cara-cara yang tidak sehat dan juga menuruti kehendaknya sendiri. Padahal, kita hanya dapat menemukan penyelesaian terhadap semua tekanan dalam hidup dan ketidak-berdayaan di dalam Allah semata. “Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku.”

Ungkapan Daud itu sungguh tepat. Untuk sampai di padang yang berumput hijau dan ke air yang tenang, seorang gembala perlu melakukan perjalanan yang panjang dan melelahkan bersama dengan domba-dombanya. Untuk bisa menikmati rumput yang hijau dan menghirup air yang sejuk, domba-domba itu perlu setia mengikuti gembala mereka, sekalipun harus melalui tanah cadas dan tandus. Sebab rumput yang hijau tidak terdapat di sembarang tempat. Sebab air yang tenang tidak tersedia begitu saja. Hal itu harus dicari dan dicapai, sekalipun melewati batu-batu cadas yang tajam. Jelas, perlu perjalanan yang melelahkan dan menyakitkan. Jelas, perlu keuletan dan kesabaran yang luar biasa. Namun domba-domba itu tidak melakukan perjalanan sendirian. Mereka disertai oleh sang gembala. Mereka dibimbing oleh sang gembala.
Dalam jiwa dan semangat itulah, kita harus mengartikan dan mengaminkan kata-kata Tuhan Yesus, “Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata : Apakah yang akan kami makan, kami minum dan kami pakai ? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi, Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah dahulu kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Matius 6: 31 – 33).

Bila kita mau mengikuti Sang Gembala kita, maka gada dan tongkat-Nya akan menyertai kehidupan kita. Bukan hanya di dalam dunia ini saja, tetapi juga kehidupan yang akan datang (setelah kematian). Kita dianugerahkan keselamatan kekal, sehingga ketika lembah kekelaman itu sedang hadir dalam kehidupan kita, tokh kita tidak perlu merasa kuatir, sebab Dialah yang mendatangkan kekuatan dan penghiburan.

Persoalannya adalah, apakah kita sungguh-sungguh meyakini akan pemeliharaan dan penyertaan Tuhan di dalam hidup kita ? Tokh Tuhan tetap memberi jaminan. “Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah. Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa.” Ketakutan kita untuk menghadapi hidup yang kita jalani dapat teratasi jika kita menyandarkan diri pada sandaran vertikal. Kita pun tidak merasa takut dan kuatir untuk kehidupan masa yang akan datang, karena Tuhan memberi jaminan dan harapan.

Read more...

RINDU INGIN PULANG

“Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair,
demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah.
Bilakah aku boleh datang melihat Allah ?”
(Mazmur 42 : 2 dan 3b).

Sidang perkabungan yang dikasihi dan yang mengasihi Tuhan Yesus,
Kerinduan ingin kembali kepada Allah adalah hal yang seringkali muncul dalam benak sebagian orang. Misalnya saja :
• Sekitar tahun 1990, Oma saya yang telah berusia 85 tahun pernah bertanya, “Kapan ya, saya dipanggil oleh Tuhan ?” Pertanyaan itu tidak pernah saya jawab. Namun 8 tahun kemudian, yakni bulan Nopember 1998, pertanyaan itu terjawab dengan sendirinya ketika Oma menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah berdoa dan mendengarkan Mazmur yang dibacakan oleh cicitnya.

• Begitu juga ketika beberapa Oma datang ke pastori sekian bulan yang lalu, mereka menanyakan hal yang sama, “Kapankah saya dipanggil oleh Tuhan ?”
Saya menangkap, bahwa kerinduan seperti itu merupakan kerinduan yang wajar dan manusiawi, sebab kerinduan seperti itu dimiliki oleh mereka yang sudah lanjut usia maupun mereka yang masih muda. Dan untuk menjawab kapan hal itu bakal terjadi, mungkin orang hanya bisa menduga-duga saja kapan hal itu terjadi, tetapi tidak ada seorangpun yang bisa menentukan dengan tepat waktu terjadinya. Sebab, soal kematian kita adalah rahasia Allah yang sulit ditembus oleh pengetahuan apapun. Kematian kita adalah hak prerogatif Allah… Bagian kita hanyalah bagaimana kita mengisi kehidupan ini di dalam terang kasih Allah.

Namun hal penting dalam hal kerinduan itu adalah mengapa kita sampai merindukan hal demikian ? Apa yang menjadi latar belakang sehingga kerinduan itu muncul dalam diri kita ? Jawaban atas pertanyaan itu bermacam-macam sesuai dengan bagaimana kita memahami hidup ini.

• Bagi sementara orang, kerinduan untuk segera kembali kepada Allah disebabkan rasa kecewanya atas hidup yang dijalaninya. Ia merasa dirinya telah gagal dan tidak berarti lagi. Setiap apa yang dilakukannya dianggapnya sia-sia belaka. Dunia ini hanya berisi penderitaan dan kesusahan belaka, sehingga orang yang berpikir demikian tidak sekedar merindukan kematian. Orang yang merasa kecewa atas hidupnya tidak jarang mengambil jalan pintas, yang dianggapnya sebagai langkah yang tepat.

• Bagi sementara orang, kerinduan itu muncul karena ia merasa telah menyelesaikan apa yang menjadi tugasnya di dunia ini. Kerinduan itu muncul karena ia sendiri telah siap untuk menghadap Allah, dan bilamana Allah memanggilnya, ia tidak merasa takut ataupun gentar. Sikap ini jelas sangat berbeda dengan sikap di atas. Sikap ini merupakan sikap orang-orang yang tidak pernah melupakan kehidupannya yang harus diisi dengan hal-hal yang berkenan dengan kehendak Allah; dan ia sendiri tetap menganggap hidup ini tetap berarti, sehingga sekalipun banyak hal yang menimpanya ia tetap memiliki semangat karena keyakinannya yang kuat kepada Allah.

Bacaan kita saat ini, merupakan nyanyian kerinduan Bani Korah (keturunan Esau yang bergabung dengan bangsa Yahudi, yang kemudian terhitung di antara kaum Lewi) atas hadirat Allah. Di tengah-tengah pergumulan karena penindasan dan olok-olok yang dilakukan bangsa kafir, mereka tidak merasa kecewa ataupun takut atas hidup yang dialaminya. Sebaliknya, mereka merasa bersyukur karena Tuhan yang diyakininya itu tetap menolong dan memberikan kekuatan kepadanya. Dalam kegelisahan dan kesesakan, mereka berseru : “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku dan gelisah di dalam diriku ?” (Mazmur 42 : 6a). Namun merekapun punya keyakinan kuat, demikian : “Berharaplah kepada Allah ! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku !” (Mazmur 42 : 6b).

Pengharapan yang begitu besar itu hanya dapat muncul bila orang memiliki keyakinan yang kuat kepada Allah. Dan itu merupakan pegangan hidup mereka. Mereka meyakini, bahwa Allah merupakan sumber kehidupannya. Kerinduan mereka akan hadirat Allah tidak didasari oleh rasa kecewa atau takutnya pada hidup ini, sekalipun hidup mereka sarat dengan penderitaan karena ulah-ulah yang dilakukan bangsa kafir. Kerinduan mereka itu muncul karena keyakinan yang sungguh-sungguh bahwa, Tuhan tidak meninggalkan mereka, seperti yang ia alami sendiri sepanjang kehidupannya. Dan kerinduan itu digambarkan seperti rusa yang merindukan sungai yang berair.

Read more...

SEGALA SESUATU ADA WAKTUNYA

Pengkhotbah 3 : 1 – 11

Sidang perkabungan yang dikasihi Tuhan,
Pernahkah kita memperhatikan buah mangga yang jatuh ? Ya, buah mangga yang jatuh dari pohonnya bisa bermacam-macam : ada yang masih kecil; Ada yang busuk di makan ulat; ada terlalu ranum dsb. Tidak ada seorang pun yang tahu kapan buah mangga itu jatuh dari pohonnya.

Hidup manusia pun demikian. Tidak ada seorang pun yang tahu secara pasti apa yang akan terjadi dalam hidup kita. Salah satu dari sekian banyak peristiwa tersebut adalah kematian. Mungkin banyak orang berharap bila kematian menjemput, ia sedang dalam keadaan yang baik, dalam arti tidak harus sakit terlebih dahulu. Namun tidak ada seorangpun yang bisa tahu kapan kematian akan menjemputnya. Kematian itu suatu misteri, dan sampai saat ini tidak ada seorangpun mampu menguak misteri tersebut. Kita hanya dapat mengatakan, bahwa setiap manusia akan mati sesuai dengan waktunya masing-masing.

Pengkhotbah mengatakan bahwa segala sesuatu ada masanya. Segala yang ada di dunia ini memiliki waktunya masing-masing. Pengkhotbah memasang-masangkan dua peristiwa kehidupan dan melihat bahwa setiap pasangan peristiwa itu ada waktunya masing-masing. Misalnya, ada waktu untuk lahir dan ada waktu untuk meninggal; ada waktu untuk menangis dan ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap dan ada waktu untuk menari dst.

Apa artinya ? Pengkhotbah ingin memaparkan bahwa sebenarnya manusia terikat oleh waktu. Waktu itulah yang senantiasa menyertai kehidupannya. Bahkan sepertinya waktu itu dapat berbuat sekehendaknya sendiri tanpa peduli terhadap keadaan manusia. Memang pada saat-saat tertentu manusia dapat menguasai waktu, namun harus kita akui pula bahwa manusia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap waktu. Misalnya, kita bisa menguasai waktu dalam hal bersenang-senang dan menangis, namun manusia sama sekali tidak berdaya ketika kematian datang menjemput kita.

Inilah yang seharusnya menyadarkan kita, bahwa sekalipun kita membuat rencana yang serinci dan sehebat apapun mengenai kehidupan ini, namun toh tidak semua kejadian dapat kita duga. Mengapa ? Ada banyak rahasia dalam kehidupan ini dan manusia sama sekali tidak mengerti pekerjaan Allah dari awal sampai akhir. Hal ini pula yang ingin pengkhotbah katakan, bahwa di balik ketidak-mengertian kita akan waktu, waktu tidak berjalan sendiri. Allahlah yang menguasai waktu. Dialah yang mengatur semuanya… Itu juga berarti bahwa kehidupan dan kematian ada di tangan-Nya. Karena itulah, walaupun waktu datang silih berganti dengan berbagai peristiwa kehidupan, kita harus tetap memiliki kepercayaan bahwa di balik semuanya itu Allah mengatur waktu agar sesuatu indah pada waktunya.

1. Hidup berdampingan dengan misteri.
Hidup yang penuh misteri adalah sebuah kenyataan yang mau tidak mau harus kita hadapi. Kita mengalami bahagia atau sedih, toh siapa yang tahu. Memang setiap peristiwa yang terjadi ada sisi terang dan gelapnya masing-masing. Sangat mudah bagi kita menghadapi sisi terang karena segalanya jelas terlihat. Bagaimana kita menghadapi sisi gelap dari misteri itu ? Tidak ada jalan lain selain menerima saja misteri itu dalam hidup kita. Dengan cara apa ?

2. Berserah kepada Tuhan.
Dalam hidup, ada banyak hal yang tidak mungkin dapat kita pahami. Di sinilah keberserahan kita sangatlah diutamakan. Kita harus pasrah namun tanpa merasa kalah. Kita berserah tetapi tetap mampu bertahan untuk memandang masa depan lebih baik. Kunci keberserahan kita bukan pada kekuatan kita sendiri tetapi pada Tuhan. Dengan cara apa ?

3. Beriman kepada Tuhan…..
Beriman kepada Tuhan adalah hal yang mutlak. Sebab segala sesuatu yang ada dalam diri kita berasal dari Tuhan. Tuhan yang tahu apa terbaik bagi hidup kita. Mungkin kematian merupakan peristiwa yang menyakitkan karena kita ditinggalkan orang yang sangat kita kasihi. Namun Tuhan selalu memberikan hal yang baik di tengah-tengah kesedihan dan rasa duka kita. Itu berarti, kita tidak bisa mengatakan bahwa kesedihan adalah akhir segalanya. Pengkhotbah justru ingin menyebutkan sebaliknya, bahwa di ujung kesedihan ada keindahan yang ingin Tuhan berikan bagi kita. Pengkhotbah mengatakan : “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.” (Pengkhotbah 3 : 11) Perkataan pengkhotbah ini dapat kita pahami bila kita memiliki iman yang teguh. Sebab dengan berimanlah, maka kita belajar bagaimana hidup dijalani dalam kesabaran dan ketabahan.

Terlebih, kematian bukanlah akhir dari segalanya. Sebagai orang beriman, kita meyakini, bahwa kematian merupakan cara Tuhan untuk menyatakan rencana dan kehendak-Nya. Dan ada kepastian bagi mereka yang meninggal di dalam iman. Demikian Tuhan Yesus bersabda : “Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamu pun berada. Dan ke mana Aku pergi, kamu tahu jalan ke situ.” (Yohanes 14 : 2 – 4)

Read more...

MISTERI ALLAH

>> Kamis, 10 September 2009

Pengkhotbah 8 : 9 - 17

Ada seorang pemuda Kristen berusia 27 tahun. Ia baru saja menikah beberapa tahun, sebelum suatu hari ia menemukan dirinya terkena kanker kelenjar getah bening yang secara lambat namun pasti menggerogoti tubuhnya. Kanker itu menjalar dengan cepat mencapai stadium empat. Pelbagai usaha pengobatan sudah dilakukan, mulai dari mencoba pengobatan tradisional sampai dengan chemoteraphy, namun hasilnya nihil. Tidak ada tanda-tanda menuju kesembuhan, bahkan semakin hari tubuhnya semakin kurus kering dan kematian sudah diambang pintu.

Di tengah-tengah sakitnya, sang pemuda bertanya, “Tuhan, mengapa Engkau membiarkan semuanya ini terjadi dalam hidupku ? Aku orang baik-baik. Aku setia beribadah kepada-Mu. Aku punya tekad ingin menjadi pemuda Kristen yang berani bersaksi dan melayani-Mu. Mengapa Engkau membiarkan aku dalam keadaan seperti ini ?”

Pertanyaan pemuda ini tidak mudah untuk dijawab, bahkan bisa dibilang tidak bisa dijawab oleh kita sebagai manusia. Dalam hidup ini seringkali kita berhadapan dengan hal-hal yang sulit untuk dicerna dengan logika. Di sinilah kita mengakui ada banyak misteri di dalam hidup yang tidak mudah dipahami. Kita tidak tahu, mengapa Allah membiarkan hal-hal yang buruk menimpa orang-orang baik, sementara orang jahat justru nampaknya mujur terus ? Mengapa Allah membiarkan seorang bayi yang masih polos meninggal dunia dan menghancurkan harapan kedua orang tuanya ? Mengapa orang-orang miskin hidupnya semakin menderita, bahkan jadi korban ambisi segelintir orang ? Di manakah letaknya keadilan Allah jika demikian ? Apakah sebenarnya kehendak Allah atas kita ?

Jika kita terus bertanya, “Mengapa Allah begini atau begitu” dan tidak dapat menemukan penjelasan yang memuaskan, mungkin kita bisa merasa kecewa, bahkan frustrasi dalam mengenal Allah. Ada banyak orang meninggalkan Tuhan karena mereka semakin lama semakin tidak yakin bahwa Allah itu ada. Ketidak-yakinan itu muncul karena mereka menganggap bahwa Allah tidak berbuat apa-apa bagi mereka. Allah dituduh tidak dapat membuktikan keadilan-Nya dalam hidup mereka. Bagi mereka, itu berarti Allah tidak ada !

Masalahnya bagaimanakah kita harus bersikap jika kita menemukan hal-hal yang merupakan misteri Allah dan kita tidak paham akan kehendak-Nya ? Mari kita berguru sejenak dari Pengkhotbah !

Penulis Kitab Pengkhotbah adalah seorang yang sangat jujur dan realistis dalam menggambarkan kehidupan manusia. Ia berbicara secara terbuka (blak-blakan, apa adanya) tentang fakta hidup manusia, yang seringkali dirasakan begitu pahit :
Pertama, Pengkhotbah melihat adanya kehidupan yang keras. “Orang yang satu menguasai orang yang lain hingga ia celaka.” (ayat 1) Penindasan terhadap kaum lemah selalu terjadi di muka bumi ini tanpa bisa dihalangi. Seolah-olah tidak ada campur tangan dan pertolongan Allah di bumi ini. Siapa yang kuat, ia yang menang.

Kedua, Pengkhotbah melihat adanya ketidak-adilan dalam kehidupan beragama. Terkadang agama dipakai untuk memihak kelompok yang salah, membela dan merestui sepak terjang orang yang berbuat kejahatan, sedangkan orang-orang yang berlaku benar tidak dihargai bahkan dilupakan. “…orang-orang fasik…boleh masuk, sedangkan orang yang berlaku benar harus pergi dari tempat yang kudus dan dilupakan dalam kota.” (ayat 10)

Ketiga, Pengkhotbah melihat orang jahat seringkali nampak hidup dalam kemenangan. “Hukuman terhadap perbuatan jahat tidak segera dilaksanakan.” (Ayat 11), sehingga tidak ada rasa keadilan di tengah masyarakat. Seringkali sampai hari inipun kita masih melihat adanya pejabat atau orang kaya yang melakukan tindak korupsi besar-besaran atau diktator yang gagal dijerat dan dapat menyogok para hakim dengan uang untuk memutar-balikkan kebenaran.

Keempat, Pengkhotbah melihat, bahwa ada orang-orang yang benar, yang menerima ganjaran yang layak untuk perbuatan orang fasik, dan ada orang-orang fasik yang menerima pahala yang layak untuk perbuatan orang benar. (ayat 14) Pendek kata, yang benar diganjar seperti orang fasik dan orang fasik hidupnya dipenuhi pahala yang seharusnya menjadi milik orang benar.

Fakta-fakta di atas tentu membuat kita berpikir, untuk apa hidup benar jika kenyataan lebih memihak kepada orang yang tidak benar. Atas fakta-fakta itu, Pengkhotbah justru menekankan 2 hal :
1. Kita harus yakin, bahwa orang-orang fasik hidupnya tidak akan beroleh kebahagiaan sejati. Mungkin mereka dianggap berbahagia di dunia ini, tetapi kebahagiaan itu semu. Untuk apa berbahagia di bumi, jika tidak ada jaminan hidup sesudah kematian nanti ?
2. Kita harus belajar untuk beriman, bahwa sekalipun ada banyak hal yang sulit dipahami dengan logika, namun dengan iman kita dapat memahami semuanya itu dan tetap hidup di dalam kesukacitaan sebab Tuhanlah yang akan menyatakannya dalam hidup kita.

Read more...

BELAJAR BERPENGHARAPAN

Kisah Rasul 27 : 14 – 44, Roma 8 : 28

Saudara-saudara yang terkasih dalam Tuhan Yesus Kristus,
Ada seorang yang selalu mempunyai jawaban atas kejadian yang menimpa dirinya. Suatu hari, ia terlihat berjalan terpincang-pincang. Rekannya bertanya, “Apa yang terjadi ?” Dia menjawab, “Kemarin, saya mendapat kecelakaan. Saya ditabrak angkot. Tapi, untunglah cuma kaki kiri yang terluka.” Rekannya ini sedikit usil dan berkata, “Kamu sih nggak hati-hati. Coba kamu bayangkan, jika angkot itu membuat kedua kakimu cacat sehingga tidak bisa digunakan lagi ?” Orang itu menjawab, “Memang repot juga sih. Tapi kenapa bingung, khan aku masih punya kedua tanganku untuk bekerja.” Rekannya ini sangat keheranan melihat sikap temannya yang selalu mengatakan beruntung walau dirinya cacat, sehingga ia bertanya lagi, “Bagaimana kalau kecelakaan itu membuat kaki dan tanganmu cacat semuanya ?” Ia berkata dengan yakin, “Memang aku akan menjadi orang cacat. Tapi aku masih beruntung tidak mati...?” Kalaupun misalnya orang itu mati dengan luka yang mengenaskan, orang sering berkata, “Tapi syukur dia mati, tidak perlu menderita terlalu lama.…”

Ilustrasi tersebut masih sering kita jumpai pada sikap kebanyakan orang. Mereka masih memiliki pengharapan walaupun berada di tengah penderitaan dan kesesakan. Hal ini tentu saja amat baik. Ia selalu melihat peristiwa yang menyesakkannya dari sisi positifnya (baik) dan tidak dari sisi negatifnya (buruk). Hanya saja, pandangan iman Kristen menganggap hal itu masih belum cukup. Artinya, bukan oleh karena kita tidak mengalami hal yang lebih buruk sehingga kita tetap memiliki pengharapan, tetapi oleh karena kita tetap memiliki keyakinan dan iman, bahwa segala sesuatu akan mendatangkan yang lebih baik. Seorang pengangguran, misalnya, tetap berusaha mencari pekerjaan sekalipun kemungkinannya semakin kecil di tengah persaingan yang begitu berat saat ini; Seorang karyawan misalnya, merasa tetap bersyukur sekalipun gajinya kurang dari mencukupi di tengah kenaikan harga barang-barang pokok yang terus melambung tinggi; Atau, seorang pasien, misalnya, rela membayar biaya yang begitu mahal untuk menjalani operasi.

Dengan demikian, pengharapan merupakan hal yang mutlak dimiliki oleh setiap orang. Tanpa pengharapan, ia ibarat laksana buih yang dipermainkan oleh gelombang lautan, sehingga centang-perenang dihajar gelombang. Ia ibarat pohon eceng gondok yang tidak punya dasar pijakan hidup karena mengambang di permukaan air. Padahal kita tahu, hidup manusia itu lemah dan tanpa daya. Alkitab menggambarkan hidup manusia seperti rumput, di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu (Mazmur 90 : 5 – 6) dan debu (Mazmur 103 : 14b). Hidup manusia penuh dengan berbagai hal yang melemahkan dan menghancurkan. Bahkan kita sendiri tidak pernah tahu kapan kita akan menjadi lisut dan layu, baik karena ulah pihak lain, sebagai akibat dari tindakan kita sendiri atau sesuatu hal yang tidak pernah kita tahu apa sebabnya. Keadaan seperti itu mudah membawa manusia kepada kekecewaan dan keputus-asaan. Dan menurut Chrysostomos, bapa gereja abad ke-4 menulis, “Yang membinasakan kita bukanlah dosa, melainkan keputus-asaan.”

Betapa pentingnya sikap berpengharapan dalam hidup kita. Namun persoalannya adalah bagaimana kita belajar untuk tetap memiliki pengharapan itu ? Sebab kita sadar, bahwa tidak ada seorang pun yang dapat dengan pasti mengetahui dengan jelas apa yang akan terjadi dalam kehidupannya; bahwa tidak ada seorangpun yang tahu dengan pasti dan jelas apa dan bagaimana masa depannya ? Apa yang ada di depan kita hanyalah samar-samar…. (bdk. I Korintus 13 : 12) Belajar tetap berpengharapan merupakan sesuatu hal yang sering menjadi persoalan dalam hidup beriman kepada Tuhan Yesus. Sebab di situlah iman kita benar-benar diuji. Dalam rangka inilah, kita akan belajar tentang hidup berpengharapan dari salah satu sketsa hidup rasul Paulus, yang saat itu sudah menjadi tawanan tentara Romawi dan akan diadili di Roma, suatu kota yang selalu menjadi impiannya untuk disinggahi.

Saudara-saudara yang terkasih dalam Tuhan Yesus Kristus,
Dalam pelayaran menuju Roma (Italia), kapal yang ditumpangi Paulus terkandas. Akibatnya seluruh penumpang, termasuk Paulus di hadapkan pada bahaya, yang setiap saat dapat merenggut nyawa mereka. Mereka merasa ketakutan yang amat besar. Dalam kondisi seperti itu, mungkin mereka bertanya-tanya dalam hati, apakah pengalaman ini menjadi suatu akhir dari petualangan hidup para penumpangnya, termasuk juga Paulus dalam menjalankan tugasnya untuk mengabarkan Injil. Suatu hal yang penuh tanda tanya, namun “masa depan” itu terlihat suram dan menyakitkan. Apakah hidup mereka harus berakhir dengan cara seperti itu ? Kita tahu, bahwa tidak ada seorang pun yang bermimpi hal itu terjadi dalam kehidupannya. Namun sekali lagi, apakah dengan terkandasnya kapal yang mereka tumpangi merupakan tanda bahwa inilah bagian hidup terakhir dari seluruh petualangan hidup kita ? Tidak ada seorang pun yang tahu.
Dalam kondisi itu, setiap usaha dilakukan dengan sekuat tenaga. Mereka membiarkan dirinya terus terombang-ambing oleh angin badai “Timur Laut” yang begitu hebat berhembus dan tanpa henti. Mereka pun membuang muatan dan alat-alat kapal agar tetap selamat. Berhasilkah mereka ? Ternyata tidak ! Badai itu semakin hebat menerpa, dan hal ini menyebabkan keputus-asaan yang mendalam. Tiada harapan, itu pikir mereka.

Kondisi ini mirip kehidupan kita semua. Ketika badai hidup terus menerpa dan tiada henti, kita pun merasa putus asa dan kehilangan harapan bila seluruh usaha dirasakan gagal. Habislah sudah ! Inilah akhir hidup kita ! Dalam keadaan tanpa harapan, bisa saja kita menjadi orang yang menyalahkan diri sendiri, tenggelam dalam penyesalan yang tiada habisnya, dan akhirnya hidup kita berakhir tanpa memiliki makna hidup apa-apa; bisa jadi pula orang-orang yang hidup dalam pengharapan saling menyalahkan satu terhadap yang lain sehingga keadaan tidak menjadi lebih baik. Sekalipun Paulus berkata, “Saudara-saudara, jika sekiranya nasihatku dituruti, supaya kita jangan berlayar dari Kreta, kita pasti terpelihara dari kesukaran dan kerugian ini !” (Ayat 21b), hal itu tidak dapat mengubah situasi genting yang sedang dihadapi seluruh penumpang di kapal itu. Bahaya itu tetap ada di depan mata, sedangkan mereka masih belum memiliki sikap yang jelas terhadap kondisi yang dihadapinya. Kalimat selanjutnya yang diucapkan Paulus justru memberikan kekuatan. Ia menerima penglihatan akan keselamatan seluruh penumpangnya (ayat 24). Di situlah Paulus menasihatkan : “Sebab itu tabahkanlah hatimu, saudara-saudara ! Karena aku percaya kepada Allah….” (ayat 25a)

Percaya atau beriman, seperti yang dikatakan Paulus, harus menjadi pilihan setiap orang. Ini harus menjadi langkah awal, terlebih ketika keadaan bahaya sedang mengancam. Setiap orang harus percaya bahwa Allah akan bertindak sesuai kehendak-Nya. Allah yang seperti apa yang kita yakini ? Allah sebagai kekuatan yang menolong dan menyelamatkan ? Tidak cukup dengan mengetahui bahwa Allah itu sebagai ini dan itu ! Namun kita harus benar-benar meyakini akan kuasa-Nya yang bekerja dalam hidup kita (Roma 8 : 28). Inilah yang harus kita yakini sungguh-sungguh ! Sebab dengan meyakini Allah sebagai pribadi yang bekerja dalam hidup kita, maka :

1. Kita tidak perlu bertanya-tanya mengapa kejadian yang tidak menyenangkan terjadi pada diri kita. Sebab pertanyaan-pertanyaan itu, sekalipun kita mendapat jawabannya, tetap saja tidak pernah memberikan kepuasan. Dari pertanyaan yang satu akan muncul pertanyaan yang lainnya dan seterusnya begitu, dan kita tetap saja berada dalam keputus-asaan, bahkan bisa jadi terus tenggelam di dalamnya. Sebaliknya, dengan menaruh keyakinan pada Tuhan, maka itu berarti kita belajar untuk menaruhkan hidup kita sepenuhnya pada rencana dan kehendak Tuhan. Sebab kita tidak pernah akan tahu mengapa semua ini terjadi. Yang kita ketahui adalah, apakah kita senang/sedih, sukses/gagal, bahagia/kecewa; hidup kita tidak ada di tengah nasib yang tanpa tujuan. Tapi di tangan Allah, yang turut bekerja dalam segala sesuatu, dan akan mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi-Nya (Roma 8 : 28).
2. Kita tidak perlu bertanya-tanya “bagaimana” Allah akan bekerja atas semua peristiwa yang dialami oleh manusia. Sebab kita sering tidak pernah tahu. Kita memang tidak melihat Dia. Yang perlu kita ketahui, bahwa Allah tidak akan tinggal diam. Ia akan bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi manusia. Kebaikan menurut siapa ? Tentunya bukan menurut ukuran manusia, tetapi ukuran kehendak Tuhan yang penuh kasih. Paulus berkata demikian : “Tetapi dalam semuanya itu kita lebih daripada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita. Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup...atau kuasa-kuasa, baik yang di atas maupun yang di bawah, ataupun sesuatu mahluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” (Roma 8 : 37 - 39) Tidak ada kekuatan apapun di dunia ini yang mampu memisahkan kita dari kasih Allah, sebab kasih Allah itu tetap untuk selama-lamanya dan tidak pernah berhenti.

Dengan iman, kita dapat “melihat” keadaan buruk dan genting dari sisi baiknya, yakni hidup kita berada di tangan Tuhan. Namun kita harus tahu pula, bahwa dengan tetap menaruh rasa percaya, itu bukan berarti menghilangkan situasi bahaya yang sedang dihadapi. Sebaliknya, dengan iman, kita dapat melanjutkan perjalanan yang berat itu dengan kekuatan baru…..

Buktinya, badai itu masih menerpa dan terus menerpa. Hanya saja, kini mereka telah menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Mereka dapat terus berjalan di tengah badai itu dengan kekuatan baru, sehingga mereka dapat melakukan hal yang lebih baik dan bersikap hati-hati. Mereka dapat mengukur kedalaman laut dan mereka pun dapat membuang sauh untuk mengindahr dari bahaya yang lebih besar, yakni kapal yang menghantam batu karang. Namun di antara mereka yang tidak memiliki keyakinan, mereka ingin segera mengakhiri hidupnya dengan menceburkan diri ke laut. Sebab pikir mereka, di depan sudah tidak ada harapan apa-apa untuk dijadikan pijakan. Bagi sementara yang memiliki iman, mereka tetap bertahan dan terus bertahan, sampai akhirnya kehendak Tuhan dinyatakan.

Read more...

ARTI SEBUAH PERNIKAHAN

I Tawarikh 17 : 16 – 27 (II Sam 7 : 18 – 29)

Mempelai yang berbahagia,
Menetapkan arti dari suatu pernikahan merupakan langkah awal dalam menjalani kehidupan sebuah rumah tangga. Bahkan penetapan arti pernikahan ini sangatlah penting, sebab menentukan isi dan mutu kehidupan rumah tangga yang akan dibangun oleh kedua mempelai.

Misalnya :
a. Jika pernikahan dipandang sebagai bentuk kontrak bisnis, maka apabila dalam pernikahan itu tidak lagi ada kecocokan, tidaklah mengherankan apabila kedua pribadi yang telah saling menyatakan cinta itu memutuskan untuk berpisah.
b. Jika pernikahan diartikan sebagai peruntungan, maka kalau nasibnya baik, pernikahan akan berjalan langgeng dan harmonis, tapi jika nasibnya kurang baik, maka pernikahannya berjalan tidak lancar dan sering terjadi masalah, maka bila terjadi perpisahan dikemudian hari, itu dianggap lumrah. Bukankah nikah itu sebuah spekulasi ? Kalau nggak membawa keberuntungan, ya jangan diteruskan.
c. Jika pernikahan diartikan sebagai karunia Tuhan, maka apapun yang terjadi, baik perkara-perkara yang menyenangkan atau tidak, baik dalam kelimpahan atau kekurangan; atau ketika ada anak atau tidak di tengah-tengah kehidupan rumah tangga yang dibentuk itu. Semuanya tetap dipandang sebagai karunia Tuhan yang patut disyukuri dan dinikmati.

Biasanya orang akan mengatakan, bahwa pernikahan mereka adalah anugerah Tuhan. Oh itu baik, dan sangat baik ! Namun tunggu dulu, mari kita lihat di sekeliling kita ! Tidak sedikit pasangan yang menikah di depan altar berakhir dengan perpisahan.

Padahal, sebelum menikah mereka menyatakan saling cinta satu sama lain dan ingin sehidup semati. Kalau diibaratkan lagu, sekalipun harus makan sepiring berdua pun tidak apa-apa. Yang penting selalu berdua…. Namun kenyataannya, tidak jarang kita melihat pernikahan mereka bagaikan kapal yang kandas di tengah perjalanan pelayanan mereka sehingga tidak dapat menuju pelabuhan bahagia. Yang semula getol ingin segera menikah, tetapi baru saja perahu itu berlayar, mereka tidak ingin lagi menaikinya bersama. Mereka ingin sendiri-sendiri lagi. Terjadinya kegagalan bukan semata-mata karena cinta kasih mereka yang kurang, tetapi bisa jadi karena keliru dalam menetapkan arti sebuah pernikahan bagi mereka.

Pernikahan atau hidup rumah tangga merupakan anugerah/berkat Tuhan semata. Ketetapan inilah yang dicanangkan Daud di dalam hidupnya. Ia berbuat demikian bukan karena ia seorang raja dan nabi. Alkitab sangat jelas memaparkan, bahwa hidup Daud tidak ada bedanya seperti kita. Ia pun mengalami masa-masa pahit. Ketika dikejar-kejar Saul, Daud harus berpisah cukup lama dengan keluarganya. Di tengah-tengah pelariannya dari kejaran Saul, Daud tentunya menahan rindu yang amat besar untuk bertemu kembali dengan keluarganya dan membangun sebuah keluarga yang ideal. Ia tahu betul, bahwa persoalan dan pergumulan itu datang silih berganti…… Bila persoalan yang satu selesai, maka akan muncul persoalan lain yang lebih berat. Bahkan tidaklah menutup kemungkinan, pergumulan yang satu belum selesai, muncul pergumulan lain yang lebih berat, yang perlu diselesaikan dengan hikmat Tuhan.

I Tawarikh 17 : 16 – 27 merupakan salah satu kalimat Daud, yang mensyukuri berkat Tuhan atas keluarganya. Ia mengakui dengan sungguh-sungguh, bahwa pimpinan dan berkat Tuhan adalah yang paling utama dalam membentuk kehidupan rumah tangganya. Ia bahkan mengakui, bahwa pimpinan dan berkat Tuhan itulah yang telah membawanya sampai sedemikian jauh. Ia tidak merasa dirinya telah berjasa. Ia tidak berpikir, bahwa kesuksesannya terjadi karena kehebatannya. Tidak demikian ! Tetapi yang ia rasakan dan imani adalah bahwa semuanya itu terjadi karena Tuhan yang melakukannya….

Setiap rumah tangga Kristen haruslah belajar dari sikap Daud ini. Kerendahan hati adalah kunci dalam menetapkan arti secara tepat dan benar terhadap pernikahan kita. Tidak jarang, ketika kehidupan rumah tangga kita mengalami keberhasilan, satu sama lain menganggap diri yang paling berjasa. Padahal keberhasilan hidup rumah tangga tidak bergantung dari kehebatan kita mengolah dan memelihara keutuhan dan keharmonisan rumah tangga kita. Itu tidak lain karena anugerah dan berkat Tuhan semata. Sebagai seorang suami, tugas kita adalah memberikan cinta kasih, perlindungan dan pengayoman. Duduk di sebelah kanan bukanlah dasar alasan untuk berkuasa atas istri dan anak-anak. Sebagai istri, kita mempunyai tugas untuk memberikan suasana kehidupan rumah tangga dengan sentuhan kelembutan agar hidup rumah tangga menjadi harmonis, dan bukannya dengan sikap aji mumpung…

Itulah sebabnya, Daud begitu bersyukur pada Tuhan dan tetap memohon pimpinan Tuhan bagi perjalanan kehidupan keluarganya. Berkat ini bukan dimengerti sebatas soal materi saja. Tidak ! Keberhasilan sebuah keluarga tidak diukur oleh materi atau kebendaan. Berkat Tuhan haruslah dimengerti secara luas, yakni menyangkut segala perkara yang terjadi dalam kehidupan rumah tangganya, baik senang maupun susah, baik sehat maupun sakit, baik dalam berkelimpahan maupun kekurangan dst, yang kesemuanya dijalani bersama dengan hikmat Tuhan.

Doa Daud terutama I Tawarikh 17 : 27 ini seharusnya menjadi dasar bagi pernikahan kita, terutama bagi pasangan mempelai ……………………… Hidup kita tidak terlepas dari berkat dan pimpinan-Nya. Kehidupan rumah tangga kita seharusnya juga dilandaskan pada takut dan taat akan Dia agar sungguh berkat Tuhan itulah yang menolong kita dalam setiap persoalan dan pergumulan dalam membangun kehidupan rumah tangga kita. Jadikanlah rumah tangga kita sebagai tempat kediaman Allah menyatakan cinta kasih dan berkat-Nya. Jadikanlah pula rumah tangga kita sebagai tempat kita untuk menyatakan syukur dalam doa dan kerendahan hati….. Amin.

Read more...

BEDA CINTA DAN KUPU-KUPU

I Korintus 13 : 3 - 7

Apa bedanya cinta dengan kupu-kupu ? Mungkin pertanyaan ini aneh, sebab kita tokh sudah tahu bedanya. Namun tunggu dulu, kita patut untuk merenungkannya.

Kita mulai dengan sebuah ilustrasi, yang mungkin sudah kita tahu bersama :
Ada seorang pria, yang berada jauh dari kekasihnya dan ingin berkunjung setelah sekian lama tidak bertemu. Sesampainya di depan rumah kekasihnya, ia mengetuk pintu dan bertanya, “Adakah orang di dalam ?” Tidak ada jawaban. Beberapa saat kemudian terdengar suara, “siapa di luar ?” Dengan bangganya, si laki-laki itu menjawab, “Aku !” Namun kembali terdengar jawaban yang kali ini sangat mengejutkan, “Maaf, tempat ini tidak cukup untuk kau dan aku !”

Si laki-laki itu merasa ditolak dan menjadi sedih. Ia menjadi susah makan dan tidur. Berbulan-bulan lamanya ia merenungkan jawaban itu. Lalu, ia beranikan diri untuk kembali mengunjungi kekasihnya. Sesampainya di depan pintu rumah kekasihnya, ia mengetuk pintu dan berkata, “Adakah orang di dalam ?” Dari dalam rumah terdengar jawaban, “Siapakah di luar ?” Kini si laki-laki itu memberikan jawaban, “Kamu !” Kemudian pintu dibukakan dan mereka hidup bahagia……

Mengapa pada awalnya si laki-laki tidak disambut dengan baik ? Nah ini ada kaitannya antara pengertian cinta dan kupu-kupu.

Seperti yang biasa kita ketahui, cinta adalah sebuah perasaan, yang pada umumnya dicari karena indah dan mengasyikan. Ciri cinta, adalah sering berpusat pada diri sendiri. Misalnya : perasaan selalu ingin dimengerti, dipahami dan sebagainya. Oleh karenanya, cinta sering membuat orang menjadi egois dan selalu menuntut sesuatu dari pihak lain. Jika demikian, orang seringkali sulit menemukan “cinta sejati”. Ketika dicari dan diusahakan, selalu saja cinta sering kandas dan lepas di tengah jalan. Di sini pula, orang sering merasa kecewa dan putus-asa……

Suatu perbedaan yang mendasar ketika kita bicara soal kupu-kupu. Ia binatang yang cantik dan seakan-akan lemah. Ia sering dicari orang. Namun ketika orang berusaha untuk mengejar dan menangkapnya, kupu-kupu malah terbang tinggi dan selalu menghindar dari tangkapan orang. Namun menariknya, jika kita diam saja, maka kupu-kupu akan mendekat bahkan hinggap di diri kita.

Idealnya, dalam kehidupan pernikahan, cinta yang sejati adalah ibarat kupu-kupu. Tidak jarang, dalam sebuah pernikahan, orang mengalami kegagalan ketika ia berusaha mengejar cinta itu. Ia berusaha untuk selalu dimengerti dan dipahami. Apa jadinya ketika dua pribadi itu saling menuntut ? Tidak pernah bersinergi, tidak nyambung karena keduanya sama-sama egois. Akibatnya, dalam berbagai kasus dalam pernikahan, orang sampai pada kesimpulan, “Rasanya saya sudah tidak mencintainya lagi.” Mengapa ? Karena ia tidak mendapatkan apa yang diharapkan dan dituntut.

Paulus dengan bijak mendeskripsikan makna kasih yang seharusnya dimiliki setiap orang :
1. Ia lebih besar dari segala sesuatu di dunia ini, termasuk iman dan pengharapan. Mengapa ? Kasih merupakan landasan hubungan yang intim antara Allah dengan kita dan manusia dengan manusia. Besarnya makna kasih bukan karena ia merupakan rumusan yang enak didengar, tetapi ia merupakan wujud tindakan nyata untuk setiap relasi yang baik. Paulus memberikan gambaran ekstrim. “Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku.” Bentuk tindakan pengorbanan sehebat apapun, bila tidak ada kasih, maka semuanya akan sia-sia…. Mengapa ?

2. Itu makna yang kedua, bahwa kasih tidak pernah menuntut pihak lain, melainkan menuntut dirinya sendiri melakukan yang terbaik. Ia tidak berpusat pada dirinya sendiri, tetapi berpusat pada pihak lain. Karena inilah, Yesus berkorban untuk kita. Ia bersedia menerima semua bentuk penderitaan yang sehebat apapun karena melihat diri manusia yang perlu mendapatkan kasih-Nya….

3. Tidak hanya itu. Bentuk kasih juga sampai pada sikap mengcover kekurangan pihak lain untuk harapan ke depan yang jauh lebih baik. Pernikahan itu tidak bersifat sesaat. Pernikahan adalah proses panjang dua insan untuk saling mengenal diri masing-masing, dan bersamaan dengan itu berusaha untuk saling memberikan hidupnya. Karena sebuah proses, maka perjalanan yang panjang tidak jarang menjadi fakta yang memberatkan ketika berbagai persoalan muncul (pihak ketiga, pengenalan diri, ekonomi dan sebagainya). Apa yang dapat mempertahankan pernikahan ? Tidak lain jawabannya adalah KASIH…..

Read more...

Profilku

>> Senin, 07 September 2009



Gambar karikatur ini dibuat oleh rekan Erick Sulaiman, untuk menjadi profilku. Lucu banget. Dengan menggunakan baju hitam, pakaian khas pendeta, ditangannya memegang Alkitab, dan di depan terdapat laptop dengan spongesbob sebagai wallpapernya, kopi hangat. Wah, saya suka sekali

Read more...

IMAN DAN PERBUATAN

Renungan Minggu, 6 September 2009

Bacaan I (Yesaya 35 : 4 - 7a); Antar Bacaan (Mazmur 125); Bacaan II (Yakobus 2 : 1 – 17); Injil (Markus 7 : 24 – 37)

Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus,

Dalam iklan pengantar sebuah acara di radio Maestro, Bandung, diperdengarkan 3 segmen cerita tentang percakapan dua orang. Dua cerita di antaranya, begini :

Pertama, ada seseorang sedang kesulitan memindahkan meja karena berat sekali. Ia meminta bantuan rekannya. Namun rekannya terus bicara tanpa bertindak sedikitpun untuk menolong. Cerita kedua, orang yang sama mobilnya sedang mogok. Lalu rekannya itu berpendapat, bahwa ada 2 solusi : (1). Pergi naik angkot untuk beli bensin; (2). Mendorong mobil itu ke Pom Bensin. Hanya saja, rekannya itu tidak melakukan apa-apa kecuali berpendapat.

Cerita itu ingin menegaskan, bahwa tidak akan bisa terjadi apa-apa hanya dengan berpendapat/berkomentar; Meja tidak akan berpindah jika tidak ada yang melakukannya; mobil tetap saja mogok jika tidak ada yang tergerak untuk membeli bensin atau mendorongnya……

Iklan itu sepertinya ingin memperlihatkan tingkah laku manusia masa kini, yang cenderung menganggap betapa pentingnya mereka yang berpendapat/punya komentar tentang sesuatu hal. Lihatlah betapa hebatnya para komentator bola, tinju, politik dsb ketika mereka memberikan pendapat. Bahkan disadari atau tidak, kita seakan mengiyakan semua pendapat mereka yang seakan-akan brilian dan hebat itu….Namun kita juga maklum, bahwa mereka belum tentu sepiawai ketika memberlakukan pendapatnya itu ..... 

Banyak orang lebih senang berpendapat ketimbang kontribusi nyata. Dalih dari orang yang hanya suka berkomentar atau berpendapat adalah mereka sudah berkontribusi melalui komentarnya. Apakah cukup hanya dengan komentar/pendapat ? Apakah gereja akan berkembang menjadi semakin baik hanya dengan berkomentar atau berpendapat ? Apakah hidup manusia akan berubah ke arah yang lebih baik hanya dengan berkomentar atau berpendapat ? Apakah dunia ini dapat berubah ke arah yang jauh lebih baik hanya dengan berpendapat atau berkomentar ? Pesan terakhir dari iklan itu jelas menegaskan, bahwa dunia lebih membutuhkan kontribusi nyata ketimbang pendapat atau komentar, sebab dunia tidak akan berubah hanya dengan berpendapat saja…..

Begitu juga halnya dengan beriman. Iman adalah sikap yang aktif bukaan pasif. Beriman bukan berbicara soal seberapa besar kita TAHU tentang Tuhan dan Alkitab. TAHU saja tidaklah cukup. Sebab beriman haruslah aktif, melakukan apa yang ia ketahui dan yakini…. Jika seseorang tahu, bahwa Tuhan Yesus adalah penolongnya, apakah ia sudah benar-benar mengalami secara pribadi bahwa Tuhan Yesus adalah penolong sejatinya, sehingga ia mau dengan rela menyerahkan seluruh kehidupannya kepada Tuhan Yesus, beribadah kepada-Nya sepenuh hati dan selalu menjalin hubungan dengan-Nya dalam doa pribadi ?

Karena begitu pentingnya suatu perbuatan dalam beriman, Yakobus menulis begini : “Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan ? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia ?” (Yakobus 2:14) Dengan kata lain, Yakobus ingin menegaskan, bahwa iman (keyakinan kepada Tuhan) selalu identik dan sejajar dengan perbuatan. Iman tidak boleh dilepaskan dari perbuatan. Boleh dikatakan, bahwa ukuran seseorang memiliki iman adalah perbuatannya yang nyata di dunia ini…. Jika seseorang berpendapat, bahwa menolong itu adalah tindakan yang baik ! atau melayani itu adalah tindakan yang mulia, dsb…. Hanya saja, jika orang itu tidak melakukannya. Lalu apa artinya dari kata-katanya itu ? Ibarat tong kosong berbunyi nyaring; NATO (No Action Talk Only). Yakobus 2 : 15 - 16 tertulis demikian : ‘“Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata : "Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang !", tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu ?”’

Apakah cukup dengan perbuatan ? Ternyata tidak cukup. Sebab kalaupun ada suatu perbuatan, maka perbuatan seseorang haruslah nyata sesuai dengan ukuran iman yang benar. Menurut Yakobus, ukuran iman itu adalah pebuatan yang tidak membedakan, tidak memandang muka, tidak berat sebelah; suatu perbuatan haruslah mencerminkan suatu keadilan dan kebenaran. Yakobus 2 : 1 berbunyi demikian : “Saudara-saudaraku, sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia, janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka.”

Apa contohnya ? Mari kita pelajari bersama Injil Markus 7 : 24 – 37. Tulisan itu menceritakan, bahwa dalam perjalanan-Nya dari pantai Danau Galilea menuju daerah Tirus (Pesisir Utara Galilea), Yesus mampir sejenak di sebuah rumah untuk beristirahat. Maksud hati tidak ingin diketahui, tetapi kehadiran-Nya memang selalu menarik perhatian banyak orang, sehingga mereka mengerumuni-Nya.

Di antara orang banyak itu, terdapat seorang perempuan Siro-Fenisia, yang anaknya sedang kerasukan roh jahat. Perempuan itu segera datang kepada Tuhan Yesus dan tersungkur sambil memohon agar anaknya disembuhkan. Tapi apa jawab Yesus ? "Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing." (Markus 7 : 27)

Jawaban Yesus terkesan mengesankan keengganan-Nya untuk menolong perempuan itu. Selain itu, terkesan pula bahwa Dia ingin lebih mendahulukan karya-Nya kepada umat Israel sebagai umat pilihan Allah. Sebab kita tahu, bahwa secara ritual, status anak hanya ditujukan kepada orang-orang Israel sebagai umat pilihan Allah. Sedangkan status "anjing" ditujukan kepada orang-orang non-Israel sebagai ganti istilah "kafir" atas penyembahan mereka kepada berhala atau ilah-ilah lain. Ya, mereka telah menajiskan dirinya karena mencemarkan diri kepada kuasa kegelapan.

Apa respon perempuan itu terhadap jawaban Tuhan Yesus ? Markus 7 : 28 menyebutkan begini : "Benar, Tuhan. Tetapi anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak”. Wanita Siro-Fenisia tidak membantah terhadap perkataan Kristus yang begitu pedas dan menyakitkan itu. Dia membenarkan perkataan Tuhan Yesus bahwa dia secara ritual hanya berstatus sebagai “anjing”. Karena itu dia hanya berhak makan remah-remah yang jatuh dari meja perjamuan yang disediakan Allah kepada “anak-anak-Nya”. Dia tidak menuntut untuk memperoleh makanan di meja perjamuan yaitu persekutuan umat Allah. Wanita ini hanya meminta sisa-sisa makanan yang terbuang dari meja perjamuan Allah. 

Dari jawaban wanita Siro-Fenisia tersebut justru kita dapat melihat kebesaran hatinya yang lahir dari iman kepada Kristus. Tepatnya wanita Siro-Fenisia tidak memperlakukan Tuhan Yesus sebagai obyek untuk memperoleh apa yang diinginkan hatinya, melainkan sebagai Mesias yang memiliki kuasa untuk mengusir roh jahat yang merasuki tubuh anaknya. Perempuan itu rela bersikap rendah serendahnya di hadapan Yesus sebagai bukti imannya kepada Tuhan Yesus.

Dengan demikian, ada dua hal yang bisa kita tangkap dari bacaan itu :
(1). Sikap yang terkesan kasar dari Tuhan Yesus hanyalah sebuah ujian atas kesungguhan iman dari perempuan Siro-Fenisia yang memohon anaknya untuk disembuhkan itu. Nyatanya, iman perempuan itu benar-benar teruji, sekalipun ia seakan-akan merasa terhina atas usahanya untuk memohon penyembuhan bagi anaknya. Keseriusan atas imannya nampak dari sikapnya dalam memohon kepada Tuhan Yesus…..sekalipun merasa direndahkan….. Jadi ada perbedaan antara meminta dan memohon. Perempuan itu menjadi contoh bagaimana seseorang memohon kepada Tuhan dalam iman yang sungguh-sungguh, yang dibuktikannya melalui sikap yang merendah serendahnya.
(2). Dua kisah penyembuhan Tuhan Yesus yang diawali kepada orang non-Yahudi lalu kepada orang tuli dan gagap, memperlihatkan bahwa tindakan Tuhan Yesus tidak pilih kasih. Ia melakukannya sesuai dengan kebutuhan orang-orang yang dilayani-Nya. Sekalipun pemohon pertama adalah orang bukan Israel, hal itu tidak menghambat-Nya untuk tetap menunjukkan kasih dan kepedulian-Nya. Itu berarti, Sikap Tuhan Yesus sama sekali tidak membedakan latar belakang dan status seseorang ketika disembuhkan…… Semua orang di mata Tuhan adalah pantas untuk ditolong. Begitulah perbuatan yang benar-benar dilandasi oleh iman yang benar….

Lalu apa pesan Firman Tuhan kali ini ?
(1). Perbuatan atas iman yang benar dari kita semua diuji dalam peristiwa gempa bumi Tasikmalaya, yang terjadi beberapa hari ini. Banyak korban berjatuhan, belum termasuk kerusakan rumah dan kehilangan harta benda dalam waktu sekejap (sekitar 2 menit). Mungkin mereka sudah menabung sekian lama untuk menanti lebaran tiba, namun semuanya menjadi sirna karena gempa. Data sampai malam ini, korban yang tewas dari Cilacap sampai Sukabumi berjumlah 70 orang, 42 masih hilang, 140 ribu lebih rumah yang rusak dan di antaranya hancur total serta ribuan orang menjadi penghuni tenda-tenda tanpa tahu kapan mereka bisa menghuni rumahnya kembali. Di sini, kita diajak untuk menunjukkan respon kita atas iman melalui perbuatan yang nyata untuk menolong mereka…
(2). Dalam gereja, ada tradisi "Siapa yang berpendapat, maka dialah yang harus mengerjakannya". Kondisi ini jelas membuat orang enggan berpendapat, apalagi bertindak dalam pelayanan nyata. Ironisnya, seringpula terjadi di mana di dalam gereja menjadi kumpulan orang-orang yang hanya berpendapat/berkomentar tentang banyak hal soal pelayanan gereja. Banyak orang yang mengambil posisi sebagai para pemikir, tetapi tidak untuk para pelayan yang mau berjerih lelah dengan pelayanan yang nyata. Di sini, Firman Tuhan jelas menginginkan kita untuk memberikan waktu, tenaga, pikiran dan segala talenta yang Tuhan berikan untuk perbuatan yang nyata dalam pelayanan.

Read more...

About This Blog

  © Free Blogger Templates Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP