MENANTI KEDATANGAN TUHAN DENGAN MELURUSKAN JALAN KEHIDUPAN

>> Minggu, 06 Desember 2009

Renungan Minggu, 6 Desember 2009 (Adven II)

Bacaan I (Maleakhi 3 : 1 – 4); Antar Bacaan (Lukas 1 : 68 – 79);
Bacaan II (Filipi 1 : 3 – 11); Injil (Lukas 3 : 1 – 6)

Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus,
Masa penantian adalah saat-saat yang berat bagi banyak orang. Misalnya saja, ketika saya menantikan kelahiran anak pertama. Sejak pecah ketuban jam 14.00 sampai 20.00, istri saya sama sekali tidak menunjukkan orang yang ingin melahirkan. Akhirnya dokter memutuskan untuk memberikan infus agar mempercepat proses konstraksi. Tunggu punya tunggu, bahkan sampai jam 04.00, rahim istri saya hanya bukaan 1… Maka suka tidak suka, mau tidak mau, istri saya harus disectio…. Ketika mengingat itu, saya terbayang betapa tidak mudahnya menantikan sesuatu. Jangankan menunggu sampai 20 jam, satu jam pun menanti adalah pekerjaan yang melelahkan, menguras tenaga dan pikiran. Ada kekuatiran, kegelisahan dan ketakutan yang sulit untuk dihilangkan…….

Mungkin karena hal itulah, maka bila kita berbicara soal menanti akan kedatangan Tuhan, itu menjadi pekerjaan yang sangat berat dan menakutkan. Jangankan bicara tentang kedatangan Tuhan atau akhir jaman, tokh orang sudah merasa ngeri luar biasa ketika menyaksikan film 2012 yang disutradarai oleh Roland Emmerich. Paling tidak, film itu cukup membuat orang ketakutan, sehingga hari minggu pertama setelah pemutaran film itu, kehadiran jumlah pengunjung dalam kebaktian peningkat dengan pesat. Itu artinya, orang menyadari bahwa dirinya penuh dosa dan berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan.

Jadi bayangkanlah bila Tuhan benar-benar datang ! Maleakhi 3 : 2 menggambarkan kedatangan Tuhan laksana api tukang pemurni logam dan seperti sabun tukang penatu. Kedatangan Tuhan layaknya pemurnian dan pembersihan. Tidak ada seorang pun yang dapat lolos dari penghakiman-NYA. Semua orang akan dihadapkan pada pengadilan Tuhan. Dan pengadilan Tuhan tidak seperti pengadilan dunia yang mudah direkayasa, disuap dan diatur, seperti yang dilakukan oleh Anggodo……

Itulah sebabnya, isue tentang kedatangan Tuhan selalu saja mengundang banyak pertanyaan dalam benak kita masing-masing : “Siapakah yang dapat tahan akan hari kedatangan Tuhan ? Siapkah kita manakala Tuhan benar-benar datang ? Apakah kita bersedia mengaku-NYA sebagai Tuhan dan Juruselamat kita, tidak seperti sikap orang-orang Yahudi ketika Tuhan Yesus hadir 2000 tahun yang lalu yang telah menolak-NYA ? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini wajar, bilamana menyadari, bahwa diri kita begitu pekat karena diliputi dosa dan perbuatan jahat. Belum tentu ketika IA datang mendapatkan diri kita tetap memiliki keyakinan yang kokoh. Kedatangan Tuhan sungguh membuat kita merasa miris dan tak berdaya apa-apa.

Saudara, … Bagi setiap orang percaya semestinya isue kedatangan Tuhan direspon dengan penuh rasa syukur. Bersyukur bukan karena dunia yang penuh penderitaan ini segera berakhir. Tidak ada seorangpun yang tahu kapan hal itu terjadi. Kita bersyukur, sebab kepada setiap orang percaya dinyatakan janji-NYA, yakni disediakan tempat yang layak, sehingga kita dapat bersekutu dengan Tuhan secara langsung tanpa ada penghalang karena kedagingan kita. Kita bersyukur sebab keselamatan itu pasti dinyatakan. Hanya masalahnya, cukup layakkah kita menerima itu ?

Di sinilah pentingnya "meluruskan kehidupan" sebagai upaya menanti secara berkualitas. Mari kita perhatikan dua hal yang seharusnya menjadi fokus penantian kita :
1. Seperti yang diungkapkan Maleakhi, bahwa kedatangan Tuhan bertujuan agar setiap orang bersedia mempersembahkan korban yang benar kepada TUHAN (Maleakhi 3 : 3b). Sifat persembahan adalah ungkapan syukur. Tindakan itu jauh dari motivasi yang keliru, seperti : tindakan ritual keagamaan dan upaya untuk menyuap Tuhan.

Mengapa persembahan kita harus dijauhkan dari motif ritual keagamaan ? Sebab tidak jarang, orang memberikan persembahan sekedar karena kewajiban, tuntutan ibadah. Itulah sebabnya orang menjadi terpaksa untuk memberikan persembahan. Padahal, persembahan semestinya didasari oleh ungkapan syukur. Tuhan terlebih dahulu menyatakan anugerah dan berkat-NYA dalam hidup kita. Maka ketika kita memberikan persembahan, itu berarti kita mensyukuri segala pemberian Tuhan. Maka persembahan seharusnya dilakukan dengan setulus-tulusnya, tanpa keterpaksaan.

Begitu juga halnya bila orang berpikir, bahwa persembahan merupakan upaya untuk menyuap Tuhan. Cara berpikir demikian tidak sedikit. Misalnya : Demi mendapatkan berkat lebih, maka kita mau memberikan persembahan. Semakin banyak persembahan yang kita berikan, maka Tuhan akan semakin banyak memberikan berkat. Atau, persembahan dilihat sebagai upaya untuk menyuap Tuhan, demi terkabulnya permintaan kita kepada-NYA. Benarkah demikian ? TIDAK ! Berkat Tuhan atau terkabulnya setiap doa dan harapan kita tidak ditentukan oleh banyak sedikitnya kita dalam memberikan persembahan. Berkat dan pengabulan setiap permintaan sepenuhnya bergantung pada rencana-NYA dalam hidup kita. Itulah sebabnya, persembahan kita haruslah didasari pada kebenaran, yakni ketulusan dan kesungguhan, bukan keterpaksaan atau karena motif menyuap Tuhan. Kita perlu ingat, bahwa Tuhan selalu melihat dari hati para pemberi persembahan. Persembahan yang benar akan menyukakan hati Tuhan.

2. Seruan Yohanes Pembaptis, demikian : "Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis dan Allah akan mengampuni dosamu, ....” (Lukas 3 : 3). Kunci dari sikap menantikan Tuhan adalah pertobatan. Macam apa ? Mari kita lihat arti pertobatan. Kata pertobatan berasal dari kata tobat, yakni kembali (berbalik) ke jalan yang benar. Kata itu bersifat aktif dan bukan pasif. Ia tidak menunggu pihak lain, tetapi ia aktif untuk melakukannya….. Maksudnya, orang bersikap aktif untuk melakukan pembenahan dalam kehidupan pribadinya agar dinyatakan layak oleh Tuhan dalam mewujudkan rencana-NYA. Salah satu hal mengenai pertobatan itu adalah kehidupan ibadah kita.

Sama halnya dalam memberi persembahan, orang bisa saja keliru dalam memaknai ibadah. Ibadah bukan sekedar ritual keagamaan (kebiasaan), tetapi merupakan sarana kita untuk berjumpa dengan Tuhan (makna individual) dan bersekutu dengan sesama (makna sosial). Melalui ibadah, kita mengoreksi cara hidup kita yang tidak benar oleh Firman yang ditaburkan…..

Menanti berarti bersiap diri sambil melakukan pembaruan hidup. Dengan begitu, Tuhan akan melayakkan kita dan kita termasuk orang-orang yang pantas menerima segala rencana dan kehendak-NYA. AMIN….

Read more...

SAKIT : JALAN MENUJU PENCERAHAN SPIRITUAL

PENGANTAR
Andre, seorang pemuda yang aktif dalam pelayanan, mendadak limbung ketika mendengar dari dokter yang memeriksanya, bahwa dirinya terkena kanker ganas. Vonis itu dengan segera menghancurkan seluruh harapan yang sedang dibangunnya bersama istri dan puterinya yang baru berusia 4 tahun. Terbayang oleh Andre dan keluarganya apa yang harus dilakukan setelah itu. Berbagai pemeriksaan dan pengobatan harus dijalani dari waktu ke waktu entah sampai kapan hal itu akan berakhir. Itu berarti pola dan prioritas hidup mereka berubah mendadak. Berbagai perasaan negatif pun mulai menggerogoti mereka selain dari sakit itu sendiri.

Siapakah orangnya yang ingin menderita sakit tertentu dalam hidupnya ? Tidak ada ! Tidak ada seorang pun yang pernah bermimpi apalagi mengharapkannya. Justru sedapat mungkin, sakit-penyakit dihindari. Dan kalaupun orang terpaksa mengalaminya, pilihan kita adalah sakit biasa-biasa saja dan segera sembuh kembali. Hanya, siapa yang dapat menduga, bahwa dirinya bakal tidak menderita sakit yang bisa mengubah total jalan hidupnya ? Tidak seorangpun yang tahu. Sakit-penyakit, diakui atau tidak, diterima atau tidak, merupakan bagian tak terpisahkan dalam hidup manusia. Siapa pun bisa jatuh sakit.

Orang disebut sakit bisa dalam 2 hal. Pertama, sakit secara psikologis, seperti merasa dipermalukan, direndahkan dsb. Dalam interaksi sosial, konflik antar sesama mau tidak mau memposisikan salah satu atau dua-duanya dalam kondisi seperti itu. Namun ada sakit psikologis yang dianggap jauh lebih parah, yakni tergganggunya kondisi kejiwaan seseorang, bisa terjadi karena genetik (misalnya : down syndrom) atau oleh tekanan kondisi hidup tertentu.

Kedua, sakit secara fisik. Konon, seiring semakin modernnya dunia sekarang ini, berbagai penyakit pun ikut menjadi semakin canggih, seperti kanker, stroke, heart attack (serangan jantung), degeneratif dan berbagai penyakit tertentu karena terinfeksi oleh virus baru yang mematikan. Selain itu, ada juga orang-orang tertentu yang menjadi sakit karena faktor genetik, yakni suatu penyakit karena kelainan bawaan sejak lahir yang muncul pada usia tertentu. Setelah melalui pemeriksaan medis, dokter menyebutnya “normal aging changes”. Jika sudah demikian, hidupnya mendadak berubah. Si penderita harus menjalani rutinitas baru yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya dalam tempo waktu yang tidak bisa diprediksi, seperti berbagai pemeriksaan, terapi, dan pengobatan lainnya.

Berbagai sakit-penyakit itu menghantui siapa saja dan menjadi momok yang sangat menakutkan. Selain memenderitakan, sakit itu sendiri dapat menyebabkan “penyakit” baru yang menambah beratnya beban penyakit yang diderita dan semakin menggerogoti dan melemahkan kondisi kita, yakni keputus-asaan, kepercayaan diri, semangat hidup dan juga iman. Bahkan tidak jarang, kehidupan keluarga kitapun akan berubah menjadi “kelabu” karena menganggap bahwa “hantu” itu begitu menakutkan dan menghancurkan. Itulah sebabnya, seberapa jauh sakit-penyakit dapat memberikan pengaruh yang positif dalam hidup kita, itu tergantung dari cara pandang kita terhadap sakit yang kita derita. Jika paradigma kita begitu negatif terhadap sakit-penyakit, maka kesusahan semakin terasa menyakitkan, sehingga rasanya sangat sulit bagi penderita untuk memperoleh makna yang lebih dalam bagi perjalanan hidupnya di depan.

Jika paradigma kita positif terhadap sakit-penyakit, maka kesusahan dapat berganti menjadi suatu sukacita. Sebab ternyata, sakit-penyakit dapat mendorong orang mengalami perjalanan spiritual yang luar biasa. Dalam sakit, orang dapat merasakan pencerahan baru, mengalami metafora kehidupan yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Bagaimana hal itu bisa terjadi ?

BELAJAR DARI TOKOH ALKITAB
Contoh pertama adalah Naaman (II Raja-Raja 5 : 1 – 16), seorang panglima raja Aram, yang telah memenangkan peperangan sebagai pemberian dari Tuhan atas bangsa Israel. Ketaatan Naaman diproses oleh Tuhan sendiri, sehingga Namaan mengenal tentang kuasa Allah yang luar biasa itu.

Berawal dari keadaan dirinya yang sakit kusta, penyakit yang sangat memalukan padahal dia adalah seorang terpandang dan disayang rajanya. Sangat berat Namaan untuk menanggung perasaan itu.

Tentunya bukan suatu kebetulan, bahwa salah seorang budaknya, seorang gadis, adalah seorang yang mengenal Tuhan, yang menyarankan Namaan untuk pergi ke Israel dan bertemu dengan seseorang yang pasti akan menyembuhkannya.

Tidak mudah untuk mendengar perkataan orang yang jauh lebih rendah kedudukan darinta, namun Naaman menurut saja sekalipun dengan menahan harga dirinya. Mungkin baginya, inilah jalan terakhir setelah berbagai upaya yang gagal untuk menyembuhkannya. Maklumlah, sebagai seorang yang memiliki kedudukan penting, ia tentu memiliki tabib pribadi, tabib yang terkenal dan dianggap terhebat di negrinya. Maka rencananya untuk pergi ke Israel disampaikan olehnya kepada rajanya dan menyetujuinya.

Maka sampailah ia ke raja Israel. Namun raja Israel punya pikiran lain. Ketidakmampuannya untuk menyembuhkan Naaman membuatnya berkabung. Ia kuatir. Malah berpikir, karena kekalahannya terhadap Aram, sang raja Israel merasa seakan-akan dirinya dilecehkan. Namun Elisa mendengar tentang hal ini, sehingga ia meminta agar Naaman menemuinya.

Naaman masih menurut. Hanya saja, ketika Elisa menyampaikan cara untuk menyembuhkan, Naaman menjadi sedih dan sekaligus marah. Ia pikir apa faedahnya mandi di sungai Yordan. Ia merasa dilecehkan. Sebab pikirnya, di Aram terdapat banyak sungai yang jauh lebih bagus dan airnya jernih, tidak seperti sungai Yordan yang keruh dan kotor. Ia tidak hanya ragu, tetapi segera bergegas pulang. Dalam perjalanan pulang itulah, pada pegawainya mengingatkannya, yang membuat Naaman berpikir ulang dan melakukan juga apa yang diperintahkan Elisa. Di saat Naaman memilih untuk berlaku taat itulah, sekalipun nampaknya ia masih meragukannya, Naaman mengalami pertolongan Tuhan yang menyembuhkannya. Demikian pendapatnya : "Sekarang aku tahu, bahwa di seluruh bumi tidak ada Allah kecuali di Israel. Karena itu terimalah kiranya suatu pemberian dari hambamu ini !” (II Raja-raja 5 : 15)

Naaman mengalami perjalanan pencerahan iman, melalui tekadnya untuk belajar berlaku taat, bersikap rendah hati, sehingga pada akhirnya ia meyakini keberadaan Tuhan yang berkuasa atas hidup manusia dan dunia ini. Atas keyakinan itulah, ia tulus menyatakan rasa syukurnya.

Contoh kedua adalah Ayub. Dia tercatat sebagai seorang yang saleh dan jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan (Ayub 1 : 1). Namun ketika sedang asyik-asyiknya menikmati segala kesuksesannya, Ayub tersentak dan hidupnya berubah menjadi “nelangsa” karena berita buruk yang diterimanya : seluruh hartanya ludes, kesepuluh anaknya mati seketika, dirinya menderita barah yang busuk dari kaki hingga kepalanya (Ayub 2 : 7), istrinya meninggalkannya dan orang-orang mencemoohnya sebagai seorang pendosa. Tidak ada yang tersisa, selain ia masih hidup di dalam beratnya awan kelabu yang menggelayutinya. Jadilah dia seorang yang mengalami “kesendirian” yang “emptyness” (kekosongan makna hidup).

Terhadap penderitaannya itu, pada awalnya Ayub masih tetap berkeyakinan : "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN !" (Ayub 1 : 21) Seberapa lama ia tetap bertahan dalam keyakinan itu ? Pengalaman tidak menyenangkan itu lambat laun mendorongnya untuk menuntut keadilan dari Allah. Dia menunjukkan sikap protesnya dan tidak dapat menerima perlakuan tidak adil tersebut kepada Tuhan. Sebab menurutnya, bahwa selama hidupnya ia tidak pernah berbuat yang keliru, tidak berbuat kejahatan apalagi menjauhi Tuhan.

Namun sikap protesnya itu justru membawanya kepada pergumulan yang sangat berharga. Dalam pergumulan itu, Ayub bertanya-jawab dengan Allah tentang banyak hal. Dan akhirnya, ia menemukan jawabnya. “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.” (Ayub 42 : 5)
Apa artinya ? Ayub telah mengalami perjalanan rohani luar biasa; perjalanan pencerahan spiritual yang membuka paradigma iman, bahwa perjumpaan dengan Allah tidak mungkin terjadi bila kita sendiri tidak membuka diri untuk menerima koreksi dan pembaruan sehingga kita dapat mengalami-Nya dalam hidup. Ya, kondisi hidup kita dapat menjadi sarana bagi kita untuk mengenal dan mengalami Allah yang luar biasa.
Ternyata, pergumulan Ayub telah membuka mata hatinya terhadap nilai luhur yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Rasa sakit, penderitaan dan kesusahan yang dialaminya membawanya kepada suatu perjalanan pencerahan. Ayub mengalami metafora iman, yakni mengalami Allah.

Bagaimana dengan pengalaman rohani Paulus ? Biasanya, kita sering melihat dan menyebutkannya sebagai figur yang hebat, tegar dan mampu memberikan warna tersendiri dalam kekristenan. Namun pernahkah kita membayangkan, bahwa sebenarnya Paulus menderita suatu penyakit tertentu yang sering mengganggunya dalam melaksanakan tugas panggilannya sebagai seorang rasul ?

II Korintus 12 : 1 – 10 menyebutkan ada “duri” dalam dagingnya yang membuat Paulus benar-benar bergumul. Ia berseru kepada Tuhan sampai 3 kali agar “duri” dalam dagingnya diangkat (ayat 7), namun Tuhan tidak menyembuhkannya. Artinya, Paulus harus tetap mengalaminya sepanjang hidupnya. Lalu apa arti dari kata itu ?
Kata “duri” menyampaikan ide mengenai kesakitan, kesukaran, penderitaan atau kelemahan fisik. “Duri” Paulus tidak diterangkan artinya, tetapi itu bukan pencobaan untuk berdosa (bdk. Galatia 4 : 13 – 14). Bisa jadi, “duri” yang dimaksudkan adalah sakit mata (Galatia 4 : 15), malaria atau cacat jasmaniah karena dilempari batu. Apapun itu, “duri” Paulus tentu sangat mengganggunya dalam beraktifitas, khususnya dalam melaksanakan tugas panggilannya mengabarkan Injil, berkotbah, menulis surat kepada orang-orang Kristen di berbagai tempat dsb. Yang menarik adalah, dalam keterbatasan dan kelemahannya, Paulus tetap berkarya. “Duri” itu sama sekali tidak dilihat sebagai suatu gangguan, malah sebagai pelajaran rohani untuk mencegahnya menjadi sombong atas penyataan-pernyataan (vision/penglihatan) yang telah dia terima. “Duri” itu menjadi pendorong bagi dirinya untuk merasakan pengalaman spiritual, sehingga dia bergantung pada kasih karunia ilahi (II Korintus 12 : 9 – 10 : “’Tetapi jawab Tuhan kepadaku : "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.”’)

CATATAN TENTANG PERJALANAN ROHANI NAAMAN, AYUB & PAULUS
Ketiga pengalaman rohani para tokoh Alkitab di atas memberikan pembelajaran bagi kita tentang perjalanan rohani yang mereka alami menuju pencerahan spiritual ke tingkat yang lebih tinggi. Bagaimana hal itu bisa terjadi ?

1. Naaman, melalui sakit yang dideritanya, telah membawanya kepada perjalanan pencerahan dari seorang yang tidak percaya menjadi percaya kepada Allah dan mengakuinya dengan segenap hati.

Apakah proses itu berjalan singkat ? Tidak ! Karena penderitaan yang disebabkan oleh sakit, setiap orang terpacu untuk menjadi sembuh. Hanya saja, cara orang ingin menjadi sembuh tentu bermacam-macam. Bagi Naaman sebagai seorang yang memiliki kedudukan tinggi dan disayang rajanya, mencari tabib yang paling jago dan populer bukanlah hal mustahil.

Namun mengapa ia sedia mendengarkan dan menerima anjuran budaknya ? Ini fase pertama perjalanan rohani Naaman, yakni berani bersikap rendah hati menjadi modal penting. Baginya, pangkat, harga diri dan segala kemampuannya untuk mencari tabib yang sangat hebat bukanlah patokan untuk menjadi sembuh. Ia harus berani melawan semuanya demi mencapai kesembuhan.

Kedua, Naaman belajar untuk bersikap sabar. Hal kedua ini pun tidak mudah. Ketika segala konsentrasi habis demi memikirkan kondisinya yang sakit dan memalukan, maka tidak ada waktu dan ruang untuk bersabar. Orang sakit sering menjadi tidak sabar(an) untuk menerima kenyataan. Yang sering muncul adalah keluhan, amarah dan segala kejengkelan meliputi hidupnya ketika penyakit itu tidak segera teratasi.....

Ketiga, Naaman telah belajar, bahwa pemulihan hanya mungkin ketika ia merasa ditelanjangi oleh hal-hal di luar akal-logika. Sebab ternyata, penyembuhan bukan miliknya, tetapi semata-mata pemberian Tuhan melalui cara-Nya yang ajaib. Kehadiran Elisa yang menyarankannya untuk mandi di sungai Yordan sama sekali di luar harapannya. Namun ia melakukannya juga hal yang dianggap sangat sepele itu. Justru dengan cara itulah, ia menemukan cahaya hati....

Ya, Tuhanlah cahaya hatinya, sehingga tumbuh keyakinan padanya melalui pernyataan yang diungkapkannya : "Sekarang aku tahu, bahwa di seluruh bumi tidak ada Allah kecuali di Israel.....” (II Raja-raja 5 : 15a) Yang perlu baginya di kemudian hari adalah seberapa kuat dan tulusnya ia tetap menjaga dan memelihara keyakinan itu. Semestinya, apapun yang terjadi, keyakinan itu tetap dipegang teguh. Sebab telah terbukti bahwa kuasa Allah sungguh luar biasa, yang tak tertandingi oleh kekuatan apapun di dunia ini.

Muara dari perjalanan rohaninya adalah rasa syukurnya dengan kesediaannya untuk memberikan sesuatu kepada hamba-Nya. Persembahan menjadi salah satu bentuk ungkapan syukur, yang juga mengajarkan hal penting, bahwa itu bukan bentuk untuk membayar kesembuhan yang telah diterimanya, tetapi semata-mata karena ketulusannya untuk bersyukur.

2. Perjalanan spiritual Ayub adalah ujian terhadap keyakinannya, bahwa “Allah yang memberi, Allah juga yang mengambil” dari semua yang dimilikinya dan “tetap bersikap saleh dan jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan”, seperti yang menjadi ciri kepribadiannya. Kedua hal itulah yang harus dipertahankan dan dijaganya selama ia mengalami awan kelabu yang memenderitakannya.

Mudahkah ? Tidak ! Orang yang merasa dekat dengan Tuhan sering beranggapan bahwa Tuhan memberikan segala hal yang diuanggap baik dan sesuai keinginannya, seperti kesehatan prima, berkat yang melimpah, segala kesuksesan dan berkat yang tidak pernah berhenti mengalir. Cara berpikir superior itu bisa menjadi senjata bagi dirinya sendiri untuk mengalami kejatuhan iman. Contoh yang pasti adalah bangsa israel. Karena merasa dirinya sebagai bangsa pilihan Tuhan, namun ketika hal itu tidak tercermin dalam kehidupannya, maka Tuhan berhak untuk mengambil “status” itu. Kesombongan rohani menjadi kunci dari kejatuhan manusia.

Bermula dari sikap protesnya kepada Tuhan atas apa terjadi dalam hidupnya. Semua malapetaka dalam hidupnya tidak sejajar, di luar hukum kausalitas. Jika orang salah lalu dihukum itu wajar, ada sebab-akibat, seperti kata pepatah “Tidak ada asap jika tidak ada api”. Ayub merasa, apa yang terjadi di dalam hidupnya di luar kewajaran. Pikirnya, semestinya orang yang saleh dan baik itu hidupnya lurus dan selalu berhasil.

Benarkah demikian ? Tidak ! Hukum kausalitas selalu berlaku dalam hidup kita. Namun juga, ada banyak hal dalam hidup yang berada di luar hukum kausalitas. Artinya, ada banyak kejadian dalam hidup kita yang di luar hukum sebab-akibat. Dalam konteks itulah, keyakinan kita benar-benar diuji, apakah kita tetap bersikap rendah hati dan menyerahkan segala perkara kepada Tuhan…

Protes yang diajukan Ayub karena ia merasa dirinya diperlakukan tidak adil oleh Tuhan. Sikap protesnya memperlihatkan, bahwa hubungannya dengan Tuhan bukanlah pura-pura. Ayub tidak memakai topeng dalam berhadapan dengan Tuhan. Justru dengan sikap protesnya tersebut telah membuka babak baru dalam hidupnya, yakni mengalami Allah secara pribadi. Ia mengalami Allah bukan dari pendapat orang…. Mungkin orang punya keyakinan bahwa Tuhan itu baik menurut kesaksian orang lain. Namun apakah ia sendiri bisa tetap berkata dan meyakini, bahwa Allah itu baik ketika hidupnya berjalan tidak baik ? Semestinya ia tetap berkata begitu sekalipun segala kesusahan dideritanya bila ia benar-benar meyakini Tuhan…..

Dalam protes itu, keberadaan diri dan cara pandangnya ditelanjangi. Artinya, Ayub harus menyadari bahwa ketika mengajukan protes kepada Tuhan, ia sendiri harus membuka diri untuk dikoreksi dan bersedia untuk introspeksi diri. Ini yang sulit. Rata-rata, ketika kesusahan terjadi, orang hanya melihat dirinya sendiri; segala yang terlihat adalah dirinya, kesusahannya, kesulitannya…. Ia sulit untuk mengerti dan memahami keberadaan pihak lain, dan sebaliknya ia selalu menuntut orang lain untuk mengerti dan memahami keberadaan dirinya……

Ayub mengalami fase itu dan ia telah berhasil mengalahkan keakuannya itu. Inilah perjalanan pencerahan rohaninya, safari spiritualnya... Ayub harus bisa mengalahkan cara berpikirnya yang keras kepala itu... Sebab memang lawan terberat adalah bukan pihak lain, tetapi dirinya sendiri.

Sejak mengalami pencerahan spiritual, hidup Ayub mengalami pemulihan dari Tuhan : hartanya berlipat ganda; ia punya sepuluh anak-anak (7 orang laki-laki dan 3 orang perempuan), di mana mereka (khususnya anak-anak perempuannya) dikatakan tercantik di negerinya. Di sini tidak dijelaskan Alkitab anak-anak itu muncul dari istrinya yang terdahulu atau yang baru, sehingga kita tidak boleh menafsirkannya secara ekstrim. Sebab tidak jarang, kasus ini dipakai kaum pragmatis untuk mencari penyelesaianannya atas masalah hidupnya demi mengejar pemulihan dengan menikah lagi sebagai jalan keluarnya.

Berapa lama Ayub mengalami pemulihan ? Alkitab menyebutkan begini : “Sesudah itu Ayub masih hidup seratus empat puluh tahun lamanya; ia melihat anak-anaknya dan cucu-cucunya sampai keturunan yang keempat.” (Ayub 42 : 16) Perhatikan kata “sesudah itu Ayub masih hidup seratus empat puluh tahun lamanya...” Apa artinya ? Kata “masih hidup seratus empat puluh tahun lamanya” bukan untuk menunjukkan umur Ayub, tetapi kehidupan Ayub setelah mengalami pemulihan. Di situ juga memperlihatkan, bahwa pemulihan tidaklah terjadi secara instan, tetapi merupakan suatu proses yang harus dijalani. Kebesaran hati sangat diperlukan untuk menerima proses pemulihan yang memakan waktu sehingga hidup kita happy ending.

3. Berbeda dengan pengalaman iman Naaman dan Ayub, Paulus justru tidak mengalami pemulihan, dalam arti ia tetap menderita sakit sekalipun sudah mengajukan permohonan untuk disembuhkan. Pemulihan Paulus dalam konteks lain. Bagaimana perjalanan spiritual Paulus dalam menghadapi sakitnya ?

Perjalanan rohani Paulus sudah dimulai ketika ia “bertemu” dengan Tuhan Yesus dalam perjalanannya menuju Damsyik (Kisah Rasul 9 : 3 – 9). Perjumpaan dengan Tuhan itu mengubah jalan hidupnya secara luar biasa. Konon setelah pertobatannya itu, ia “bersembunyi” di Tarsus (Kisah Rasul 9 : 30), tempat kampung halamannya ketika masih kanak-kanak (Kisah Rasul 22 : 3). Setelah beberapa waktu lamanya, barulah ia tampil dengan melakukan perjalanan misinya ke berbagai daerah dan menulis surat kepada jemaat-jemaat bimbingannya. Kitab Roma menjadi karyanya yang luar biasa, di mana inti teologia Paulus sangat jelas dipaparkan di situ.

Dalam konteks “pemulihan” yang dialaminya, Paulus punya pengalaman tersendiri. Ternyata, sekalipun ia seorang rasul dan punya karya yang luar biasa, namun permohonannya untuk disembuhkan tidak dikabulkan oleh Tuhan. Namun ia punya perjalanan spiritual atas hal itu.

Sekalipun Paulus tidak disembuhkan dari sakit-penyakit, tetapi ia TIDAK berputus-asa, marah apalagi kehilangan harapan dan imannya. Justru kenyataan sakit yang harus terus dideritanya telah menyadarkannya, bahwa kebergantungan penuh kepada kekuatan Tuhan adalah hal yang sangat mutlak. “Sebab jika aku lemah, maka aku kuat”.
Kok bisa Paulus punya pemikiran demikian ? Bukankah orang selalu berpikir, bahwa jika Tuhan di pihak kita maka segala hal yang dianggap gangguan dalam hidup bisa disingkirkan ? Atau sebaliknya. Jika seseorang mendapatkan dirinya ada banyak kekurangan, maka hal yang sering terjadi adalah keputus-asaan, kemarahan, kehilangan harapan, sehingga orang selalu berusaha menuntut banyak hal dari Tuhan agar dirinya memiliki berbagai kelebihan itu.

Inilah yang berbeda dari Paulus dengan yang lain. Alkitab menyebutkan, bahwa Paulus memiliki karunia Tuhan yang istimewa berupa penglihatan-penglihatan (vision) dan pernyataan-pernyataan (nubuat) dari Allah, yang tidak dimiliki orang lain (II Korintus 12 : 1 – 4). Orang yang memiliki keistimewaan itu tentulah menjadi suatu kebanggaan. Kelebihan itu dapat membawa orang yang memilikinya menjadi sombong rohani, menepuk dada dan meninggikan diri.

Hal itu tidak berlaku baginya. Sebab Paulus menyadari, bahwa selain “kelebihan” yang dimilikinya, ia pun punya kekurangan sebagai imbangan agar ia tetap berlaku rendah hati. Sebaliknya kekurangannya itulah yang menjadi kebanggaannya. Mengapa ?

Kekurangan yang dimilikinya telah mengajarkan hal berharga baginya, bahwa segala hal yang ada dalam dirinya hanyalah kasih karunia (gracia). Jika dia bisa berbuat segala sesuatu dalam memenuhi tugasnya sebagai seorang rasul, itu semata-mata bukan karena dia sendiri yang mampu karena memiliki berbagai pengetahuan yang lebih banyak dari yang lain. Jika dia sanggup dalam kelemahannya untuk pergi dari satu tempat ke tempat lain untuk mengajarkan Injil dan berkotbah, itu bukan karena dia punya kekuatan lebih dan merasa mampu dan bisa. Semuanya itu bisa terjadi atas kasih karunia Tuhan. Semuanya bisa dilakukan hanya karena kasih karunia Tuhan semata (lihat I Korintus 15 : 10 – 11) Atas dan karena kasih karunia Tuhanlah, maka segala hal yang ada dalam dirinya dan yang bisa dilakukannya bisa terjadi. Selanjutnya, semua yang bisa dikerjakannya bukanlah demi sesuatu bagi dirinya sendiri (popularitas, pujian, menumpuk harta, dsb), tetapi semata-mata bagi, untuk dan demi Tuhan (prodeo) yang telah memberikan kasih karunia itu.

Hal lain dari perjalanan rohani Paulus adalah, bahwa sekalipun “duri” masih tetap dalam dirinya, dan itu berarti ia harus mengalami berbagai “kendala” dalam melakukan pelayanan, namun Paulus tetap memperlihatkan totalitasnya. Terbukti, sekalipun ada “duri” dalam dirinya, pekerjaan pelayanan Paulus memperlihatkan kualitas dan hasil luar biasa. Banyak jemaat yang disentuh melalui kehadiran dirinya dan suratnya, yang di kemudian hari tanpa disadarinya, semua kisah pelayanan dan karyanya menjadi bagian terbesar dari Perjanjian Baru. Hal ini ingin memperlihatkan kepada kita, bahwa sekalipun “duri” dapat menjadi “kendala”, tetapi “duri” sama sekali tidak dapat mengurangi kualitas kinerja. Totalitas pelayanan tetaplah harus diperlihatkan dan diperjuangkan. Kekuatan untuk orang menjadi total bukan semata-mata karena dia mau dan mampu, tetapi karena kasih karunia Allah.

PERAN ORANG-ORANG DI SEKITAR YANG SAKIT
Ada yang menarik jika memperhatikan sikap istri Ayub terhadap kondisi yang dialami suaminya, demikian : "Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu ? Kutukilah Allahmu dan matilah !” (Ayub 2 : 9) Apa yang terjadi ?

Tidak sedikit orang (anggota keluarga) yang bersikap pragmatis seperti istri Ayub itu. Hidup bahagia, ia mau menerimanya. Namun ketika masa sulit datang dan tidak segera berubah, apalagi setiap saat harus merawat dan menjaganya, maka lambat laun ia menjadi tawar hati dan lebih memilih untuk pergi, mencari kehidupan lain dan berharap memperoleh kebahagiaan di tempat lain. Sikap pragmatis ini jelas memperlihatkan keengganan untuk berproses dan berharap dalam masa sulit itu. Sikap ini nampak, misalnya, pada orang-orang yang memutuskan untuk bercerai ketika ada masalah dengan pasangan hidupnya, kemudian menikah lagi demi memperoleh harapan di tempat lain. Ironis bukan ?!

Mungkin begitu juga sikap sebagian orang ketika melihat teman atau sahabatnya mengalami sakit. Entah karena alasan apa, ada saja sikap-sikap yang mudah untuk cepat “menghakimi”, bukan rasa prihatin dan ikut bersedih, terhadap mereka yang sakit. Misalnya, orang berkata : “Dia sakit karena salahnya sendiri.” Mungkin perkataan itu muncul karena orang menilai pola dan sikap yang selama ini dikenal dari orang yang sakit itu dianggap salah dan keliru sehingga memicu munculnya sakit tersebut. Atau, bila sakit yang diderita seseorang berlangsung lama, mungkin karena keprihatinan, orang tanpa sadar berkata, misalnya : “Cepet sembuh dong, jangan sakit terus. Kasihan dong sama anak-anak dan istri/suami.”

Kondisi ini tentu semakin menambah beban psikis bagi orang yang sakit….. Penderitaannya bertambah, sebab bukan simpati yang diterima, melainkan tekanan psikis yang semakin menindihnya. Padahal yang mengalami beratnya penderitaan dan rasa sakit adalah orang yang sedang sakit itu sendiri, bukan orang-orang yang melihatnya atau pun yang memberikan penilaian. Begitu juga, tidak ada seorangpun yang berharap dirinya mengalami sakit, apalagi harus berlangsung cukup lama. Tidak ada seorang pun yang bersedia berada pada posisi seperti yang dialami Naaman, Ayub & Paulus. Namun jika sakit itu harus datang, maka mau tidak mau, suka atau tidak suka, hal itu menjadi kenyataan tidak menyenangkan yang harus dijalani dari waktu ke waktu entah sampai kapan. Kesembuhan selalu diharapkan, tapi itu milik Tuhan, anugerah-Nya. Jika seseorang menjadi sembuh dari sakit, itu adalah anugerah-Nya, bukan karena kehebatan dan upaya kita. Namun tokh, ada kenyataan bahwa kesembuhan tidak segera diperoleh dalam waktu singkat. Bahkan tidak sedikit juga orang harus mengalami sakit sepanjang hidupnya. Tidak ada seorang pun yang tahu apa yang bakal terjadi di masa depan kita…..

Dengan demikian, keberadaan orang-orang di sekitar orang yang sakit memang dapat mendorong proses pencerahan itu berlangsung dengan baik atau tidak. Jika dukungan positif yang diberikan kepada yang sakit, maka proses pencerahan itu dapat dijalani dengan ketenangan dan kedamaian sekalipun ada juga kegalauan karena orang yang sakit tetap saja menggumulkan sakitnya itu. Sikap yang tetap, di antaranya adalah dampingilah mereka yang sakit dengan doa-doa Anda dan berikan ruang bagi orang yang sakit itu untuk tetap bergumul, di samping nasihat-nasihat yang membangun kesabaran dan ketenangan bagi yang sakit.

KESIMPULAN
1. Betul, bahwa sakit memberikan pengalaman tidak menyenangkan dan memenderitakan. Sekalipun demikian, sakit bukanlah momok yang harus ditakuti. Bukan juga membuat orang merasa gagal, putus-asa, kehilangan semangat dan harapan. Pengalaman ketiga tokoh Alkitab di atas memperlihatkan, bahwa sakit-penyakit bisa mendorong orang untuk mengalami perjalanan pencerahan iman luar biasa. Itulah sebabnya, tetaplah berdoa dan jalani proses yang terjadi, sebab ada rencana yang Tuhan nyatakan kepada Anda.

2. Paulus menyebut hidup Yesus sebagai suatu gambaran nyata dari perjalanan iman yang seharusnya menjadi acuan utama dari perjalanan iman kita. Mari kita baca Filipi 2 : 6 – 11, “’...., yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku : "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa.’”

Sekalipun IA adalah Tuhan, namun tidak mempertahankan predikat-NYA sebagai milik yang dipertahankan, melainkan IA bersedia mengalami perendahan, sebagai manusia bahkan hamba bagi manusia. IA bersedia mengalami sakit dan berbagai penderitaan. Pergumulan berat harus dijalani-NYA, sekalipun ia harus melewati fase kematian dan kerajaan maut dalam kesungguhan dan ketaatan. Sampai akhirnya IA bangkit dan kembali menerima tampuk kepemimpinan-NYA atas dunia dan alam semesta ini.
Hidup Tuhan Yesus ketika berada di dalam dunia ini memperlihatkan contoh yang pantas kita teladani dalam hidup. Bahwa semua proses itu dijalani-NYA dengan ketaatan dan kesetiaan...

3. Perjalanan iman mendorong kita untuk semakin mengenal Allah secara pribadi, bukan pura-pura, tetapi membutuhkan ketaatan dan kesetiaan yang akan membentuk iman Anda semakin kuat.

4. Pemulihan bukanlah tujuan perjalanan rohani, tetapi sebagai suatu konsekuensi logis yang pasti diterima bila orang bersedia berproses. Juga kita tidak menetapkan target macam apa atas pemulihan itu, sebab itu sepenuhnya bergantung dari perjalanan spiritual yang terjadi dan rencana Tuhan atas diri kita. Yang terpenting adalah bergumullah, alamilah semua proses yang terjadi ketika kita bergumul. Kuncinya, dengar-dengarlah dengan Allah, dan jangan mendengar diri kita sendiri. Sebab melalui proses itu, Allah ingin menjadikan kita semakin luar biasa di dalam iman.

5. Sakit bukan penghalang bagi orang yang mengalaminya untuk tetap berkreatifitas dan menunjukkan totalitas dalam berkarya. Justru sakit merupakan ujian untuk terus bersikap taat dalam memenuhi panggilan Tuhan. Bahkan ketika orang yang sakit itu tetap berkarya, maka itu dapat memberi sukacita tersendiri. Sebab kita menyadari, bahwa ketika orang tidak lagi bisa berkarya atau karyanya dibatasi, maka itu akan semakin meruntuhkan semangat dan harapannya karena ia merasa dirinya tidak lagi berharga di mata sesama.

6. Peran orang-orang di sekitar mereka yang sakit cukup besar terhadap perjalanan spiritual bagi mereka yang sakit. Dukungan dan pendampingan orang-orang di sekitar yang sakit dibutuhkan, sehingga pencerahan itu diperoleh secara luar biasa.

Read more...

About This Blog

  © Free Blogger Templates Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP