HATI YANG BERBELA RASA

>> Minggu, 22 Juli 2012

Markus 6 : 30 – 34; 53 - 56

Jemaat kekasih Tuhan Yesus,
Ketika mempersiapkan renungan ini beberapa hari yang lalu, saya teringat peristiwa 6 tahun lalu (29 Mei 2006) di desa Porong – Sidoarjo. Ya tragedi lumpur Lapindo, yang sampai saat ini masih tidak jelas penanganannya. Orang terus berdebat soal penyebabnya : bencana alamkah atau kecerobohan manusia ? Yang pasti, tragedi itu telah menjadi bencana materi, sosial dan kemanusiaan. Tidak sedikit yang menjadi korban dan masih menunggu kepastian soal ganti rugi. Hal ini mengundang banyak rasa simpatik dari berbagai pihak. Banyak yang berkunjung ke tempat itu, dengan sambutan tulisan “Selamat Datang di Pusat Wisata Lumpur Lapindo”. Bahkan guide wisata pun tersedia untuk mengajak berkeliling lokasi dan menjelaskan seputar tragedi itu. Namun menarik untuk diperhatikan juga, ternyata di sekitar lokasi bencana juga terpampang tulisan, “Kami bukan tontonan, kami butuh bantuan.” Hal itupun terjadi di berbagai tempat bencana lainnya, seperti : Korban Merapi; Gempa Jogja, dsb.

Mengapa sampai ada tulisan “Kami bukan tontonan, kami butuh bantuan” ? Apakah rasa simpatik tidak cukup untuk mereka ? Hal ini memperlihatkan kepada kita, bahwa batas antara sikap empati dan bukan sangatlah tipis, sulit dibedakan mana yang berbela rasa dan mana yang hanya sekedar ingin menonton. Semua mengatas-namakan keprihatinan dan kepeduliaan kepada sesama. Lalu di mana letak perbedaan antara orang yang berbela rasa dan bukan ?

Mari kita perhatikan dengan seksama contoh berikut ini. Misalnya : Telah terjadi sebuah kecelakaan. Kebetulan kita sedang lewat dan melihat korban yang berdarah-darah. Apa sikap kita ? Banyak yang penasaran ingin melihat. Semua orang tentu merasa kasihan, sehingga tidak sedikit yang melihatnya berseru, “Duh, kasihan ya…” Mungkin ada yang berseru, “Ihhhh…..”, karena merasa geli dan ngilu melihat darah. Setelah lewat tempat kejadian, mereka kembali sibuk dengan segala urusannya masing-masing. Mungkin ia bercerita tentang betapa sedih dan prihatinnya terhadap korban kecelakaan itu. Namun mereka sudah tidak berada di tempat kejadian. Namun ada sementara orang, yang langsung memberhentikan kendaraannya, lalu turun dan menolong orang itu tanpa sempat berkata apa-apa.

Saudara,….
Itulah yang dilakukan Tuhan Yesus. Entah berapa banyak orang yang sudah ditolong dan diajar-Nya, sebab memang orang yang mengikuti-Nya begitu banyak. Karenanya, Ia butuh untuk beristirahat sejenak. Ibarat batere, tubuh-Nya butuh di charge kembali supaya segar. Itulah sebabnya, setelah menerima laporan dari para murid tentang apa yang mereka kerjakan dan ajarkan, Yesus mengajak mereka, “Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah seketika !” (ayat 31a) Pada kalimat itu ada keterangan waktu, yakni “beristirahatlah seketika”. Artinya, Yesus ingin, sekalipun mungkin waktunya sangat singkat, namun bisa benar-benar Dia dan para murid-Nya beristirahat. Mengapa ? Ia dan para murid-Nya memang sudah sangat lelah setelah melayani banyak orang dan masih banyak lagi yang menanti pelayanan-Nya.

Entah berapa lama mereka sudah beristirahat, namun ketika mereka bertolak ke tempat yang sunyi dengan perahu, orang-orang banyak itu tetap mengikuti dan mendahului mereka melalui jalan darat. Malah, sesampainya Yesus di darat, ia langsung dikerumuni orang banyak yang meminta pengajaran, penyembuhan dsb. Yesus kembali sibuk melayani banyak orang, sekalipun ia kurang istirahat. Markus 6 : 56, “Ke mana pun Ia pergi, ke desa-desa, ke kota-kota, atau ke kampung-kampung, orang meletakkan orang-orang sakit di pasar dan memohon kepada-Nya, supaya mereka diperkenankan hanya menjamah jumbai jubah-Nya saja. Dan semua orang yang menjamah-Nya menjadi sembuh.”

Pertanyaan nakal : “Kok mau-maunya Yesus berlelah-lelah, mengorbankan kenyamanan dan istirahat-Nya demi orang banyak yang sama sekali tidak dikenal-Nya ?” Mungkin serta merta kita menjawab, “Sebab Dia khan Tuhan…” Loh jawabannya begitu ya ? Emang Tuhan itu jongos kita, yang bisa disuruh dan berlelah-lelah untuk selalu meladeni kita ?

Mari kita merenung sejenak. Pernahkah kita berpikir, “Mengapa saya yang harus menolong apalagi mengusik kenyamanan dan istirahatku ? Bukankah orang lain juga bisa melakukannya ?” Ya, orang merasa bukan tanggungjawabnya untuk memperhatikan, apalagi untuk merawat, menghibur, menolong orang lain, apalagi orang itu bukan anggota keluarganya atau yang dikenalnya. Orang cenderung bersikap apatis, dan bahkan tidak mau ampil pusing dengan keberadaan dan kesusahan orang lain karena berbagai alasan. Entah karena dirinya juga dicuekin saat membutuhkan bantuan orang, atau mungkin karena terlalu sibuk dengan urusannya.

Yang pasti, ada banyak orang yang marah ketika kenyamanannya terusik, saat istirahatnya terganggu. Yesus tidaklah demikian. Hati-Nya selalu tergerak oleh belas-kasihan, yang dalam bahasa kerennya “compassion”. Artinya, apa yang menjadi kesusahan orang lain, itu juga bagian dari kesusahan-Nya. Apa yang menjadi penderitaan orang lain, itu pun menjadi penderitaan-Nya. Sekalipun dalam berbela rasa, kenyamanan Yesus terusik dan hal itu bukanlah suatu hal yang dipersoalkan.

Karena hati Yesus yang berbela rasa inilah, Paulus menuliskan begini : “….yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” (Filipi 2 : 6 – 8) Ya, Yesus berkenan hadir ke dunia ini untuk menderita, disalibkan, mati dengan cara hina, dikuburkan dan bangkit, sekalipun manusia penuh dosa dan selalu menyakiti-Nya. Untuk apa ? Demi keuntungan-Nyakah ? Tidak !!! Ia berkenan menerima semuanya karena kasih-Nya. Agar kita terbebas dari hukuman maut karena dosa. Agar kita menjadi orang-orang yang memiliki masa depan yang indah, yakni keselamatan dan kerajaan sorga.

Sikap Yesus yang berbela rasa kepada orang banyak bukanlah sebuah lukisan indah untuk ditonton dan dipamerkan. Selain sebagai bukti kasih-Nya kepada manusia, Ia sebenarnya ingin memberikan keteladanan, yakni sikap hati yang semestinya dimiliki setiap orang yang telah mempercayakan hidup kepada-Nya. Ia ingin agar kita melatih kepekaan hati dan sikap yang berbela rasa. Mengapa ? Selamanya, dunia ini butuh sentuhan kasih dari setiap kita yang telah mengalami cinta kasih dan sikap berbela rasa dari Tuhan Yesus. Seberapa dalamkah Firman Tuhan ini mengusik kita ?

Acara Kick Andy hari jumat yang lalu mengulas sebuah topik “Atas Nama Nurani”. Dari semua nara sumber yang diundang Andy Noya, ada seorang bapak berusia 66 tahun, bernama Iwan Hasyim Muya. Selama hampir 33 tahun lamanya, ia telah mengabdikan dirinya sebagai seorang sukarelawan, khususnya dalam membantu proses evakuasi mayat. Dan selama itu pula, ia sudah mengevakuasi sekitar 6.055 mayat dari berbagai kondisi kematian, mulai dari gantung diri (bunuh diri), korban pembunuhan, tenggelam, kecelakaan lalu lintas, terbakar hingga mutilasi. Mayat terbanyak yang pernah ia evakuasi adalah ketika terjadi bencana tsunami di Aceh sebanyak 900 mayat. Semua keadaan mayat pernah ia tanganinya tanpa risih dan jijik. Baginya mereka yang telah meninggal adalah manusia yang membutuhkan pertolongan. Mereka juga perlu diperlakukan dengan baik. Itulah sebabnya ia juga sering dipanggil dengan sebutan Iwan Mayat.

Desember 2005 yang lalu, ia mendapatkan tanda kehormatan berupa Satya Lancana Kebaktian Sosial dari Presiden SBY. Sampai saat ini, ia terus mengabdikan dirinya menjadi sukarelawan dalam mengidentifikasi dan mengevakuasi mayat, sekalipun tanpa digaji. Karena pengabdiannya inilah, ia diangkat sebagai Banpol Polresta Palembang dengan tugas. Sekalipun usianya sudah tidak muda lagi, tapi keinginannya untuk memanusiakan manusia walau telah berupa mayat menjadikannya semakin kuat berniat untuk tidak pensiun menjadi relawan.

Amin.....

0 komentar:

About This Blog

  © Free Blogger Templates Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP