ANAK MILIK SIAPA ?

>> Senin, 17 Agustus 2009

Mazmur 127 : 1 - 5

Seorang filsuf ternama, yakni Kahlil Gibran pernah menuliskan perenungannya mengenai anak demikian :

Anakmu sebenarnya bukan milikmu.
Mereka adalah anak Sang Hidup yang mendambakan hidup mereka sendiri.
Mereka memang datang melalui kamu,
tetapi mereka bukan milikmu.
Engkau bisa memberi kasih sayang,
tapi engkau tidak bisa memberikan pendirianmu,
sebab mereka memiliki pendirian sendiri.

Engkau dapat memberikan tempat pijak bagi raganya,
tapi tidak untuk jiwanya,
sebab jiwa mereka ada di masa depan yang tidak bisa engkau capai
sekalipun dalam mimpi.
Engkau boleh berusaha mengikuti alam pikiran mereka,
tapi jangan harap mereka dapat mengikuti alammu,
sebab hidup tidaklah surut ke belakang,
tidak pula tertambat di masa lalu.
Engkau adalah busur dari mana bagai anak panah,
kehidupan anakmu melesat ke amsa depan.
Sang Pemanah maha tahu saaran bidikan keabadian.
Dia merentangmu dengan kekuasaan-Nya,
hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat,
sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap.
Terlepas apakah ia pernah membaca Mazmur ini, namun pemahaman mengenai siapa anak dalam kehidupan orangtua sangatlah jelas dan hampir mirip. Secara sederhana ia hendak mengatakan, bahwa seorang anak dalam kehidupan orangtua adalah titipan Tuhan. Orangtua tidak bisa memaksakan kehendaknya untuk menentukan hdiup si anak. Si anak punya kehidupannya sendiri. Fungsi orangtua adalah mendorong si anak (bagai anak panah yang melesat jauh) kepada mas depannya sendiri.

Jiwa dari pandangan Kahlil Gibran lebih jelas tertangkap oleh pemaparan Pemazmur mengenai anak. Milik siapakah seorang anak ?

Untuk menjawab pertanyaan itu, Pemazmur mengawali pemahamannya mengenai gambaran kehidupan rumah tangga. Ia menyebutkan, bahwa sebuah rumah tangga dapat bisa dibangun, apakah dengan kekuatan dan kemampuan orang-orang yang ada di dalamnya, atau oleh Tuhan. Ada perbedaan yang mendasar di sini ! Bila sebuah rumah tangga dibangun dengan kekuatan dan kemampuan orang-orang yang ada di dalamnya dapat runtuh. Ia bagaikan bangunan yang berada di tepi pantai dan ketika ombak mengantam maka rubuhnya bangunan itu. Namun bila ia dibangun di dasar kekuatan Tuhan, maka bangunan itu akan tetap berdiri kokoh dan mendapatkan kemuliaan dari Tuhan. Mengapa ?

Hidup manusia tergantung sepenuhnya oleh berkat dan anugerah dari Allah. Manusia tidak bisa dengan kekuatannya sendiri memperoleh semua apa yang diharapkan. Sehebat apapun manusia itu, bila tanpa perkenan dan kehendak Tuhan, maka semua usahanya akan menemukan kesia-siaan belaka. Sebab Tuhanlah yang menentukan semua berkat yang diperoleh manusia, baik segala miliki yang bersifat materi, juga anak-anak.

Memang anak adalah buah cinta kasih laki-laki dan perempuan yang bersatu dalam pernikahan kudus. Namun keberadaannya adalah kehendak Tuhan. Tuhanlah yang memberikan dan menganugerahkannya. Tuhanlah yang berkehendak ! Kita sering mendengar, bahwa banyak pasangan suami-istri yang begitu susahnya memperoleh seorang anak. Padahal segala usaha telah dilakukannya demi memperoleh anak. Bahkan banyak hal telah dikorbankan, termasuk uang dan harta dihabiskannya demi mendapatkan seorang anak. Ini berarti, bahwa usaha manusia bukanlah yang paling utama dan pertama, melainkan Tuhanlah yang berperan dan menentukan, sehingga setiap pasangan nikah harus memintanya kepada Tuhan sebagai sumber berkat.

Di sini, anak dalam kehidupan orangtua tidak lain merupakan anugerah-Nya, yang dititipkan kepada orangtua untuk diasuh, dididik, dikasihi dan dipenuhi segala kebutuhannya (jasmani, rohani, mental dan spiritual). Dasarnya karena Tuhan mengehendaki agar anak juga merasakan bahwa Tuhan Allah adalah kasih (bdk. Ulangan 6 : 4 – 9).

Karena sifatnya titipan, maka tanggung-jawab orangtua bukan sekedar memenuhi kebutuhan jasmani dan rohaninya belaka, tetapi juga belajar memahami bahwa masa depan si anak bukan terletak pada kuasa dan kehendak orangtua. Orangtua mempunyai kewajiban untuk mendorong si anak memilih jalan hidupnya yang terbaik baginya. Ia bagaikan anak panah yang melesat jauh. Orangtua berperan memberikan bekal sebanyak-banyaknya kepada anak sehingga si anak dapat mementukan apa yang terbaik bagi dirinya sendiri.

0 komentar:

About This Blog

  © Free Blogger Templates Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP