Pentingnya Peran Orangtua Dalam Pendidikan Spiritual Anak

>> Rabu, 18 Juli 2012

Ulangan 6 : 4 - 9

Seorang bapak mengeluhkan anaknya yang lebih hafal menyanyikan lagu-lagu CHERYBEL, SMASH, ARMADA ketimbang lagu-lagu rohani. Apalagi anaknya berdoa dengan cara yang dianggap tidak lazim, mengikuti kebiasaan yang dilakukan baby sitternya. Ia marah dan sang baby sitter dipecatnya karena dianggap telah salah dalam mengasuh anaknya. Repotnya, Baby sitter yang baru justru lebih saleh dan rajin beribadah. Ia jadi bingung bagaimana harus mendidik anaknya, sedangkan ia dan istrinya sangat sibuk dengan pekerjaan dan tugas-tugas lain.

Itulah masalah yang sering dihadapi keluarga muda saat ini. Tingginya mobilitas dan bergesernya prioritas dalam hidup telah menjadi kendala terbesar dalam upaya pendidikan iman anak. Padahal, kita menyadari sepenuhnya, bahwa keluarga inti (ayah, ibu dan anak-anak) merupakan tempat paling utama dan pertama bagi pendidikan spiritual anak. Melalui orangtualah, seorang anak, dari sejak dalam kandungan akan belajar dan menyerap segala pengalaman iman orangtuanya, menjadi pondasi yang kokoh bagi tumbuh kembang spiritual anak. Dengan kata lain, peran orangtua sangatlah penting bagi kehidupan anak sejak dini. 

Itulah yang ingin ditegaskan Ulangan 6:4–9. Konteks tulisan itu adalah masa di mana umat Israel telah bebas merdeka dari negeri perbudakan dan sedang dalam perjalanan menuju Tanah Perjanjian. Jarak yang harus ditempuh dari Mesir ke kanaan sekitar 150 km, atau sekitar 2,5 jam dengan kendaraan atau minimal 2 minggu dengan berjalan kaki. Namun, mengapa mereka hanya berputar-putar di sekitar padang gurun Sin dan Paran, dan menghabiskan waktu sekitar 40 tahun menuju negeri Kanaan?

Sejarah memperlihatkan, bahwa sejak Yusuf, keluarga besarnya dan seluruh keturunannya mendiami Gosyen di Mesir selama hampir 300 tahun, maka banyak kemungkinan yang terjadi. (1). Pembauran, entah dalam budaya, pernikahan, dan juga ideologi beragama - dari paham monoteistik yang dipegang teguh umat Israel dengan paham politeistik bangsa Mesir. Artinya, pembauran itu dapat saja melemahkan nilai-nilai iman yang paling utama. (2).Bermental budak setelah mereka diperlakukan demikian oleh para penerus Firaun yang tidak lagi mengingat jasa-jasa Yusuf. Atas kondisi demikianlah, maka melalui Musa, Tuhan menegaskan : 
  1. “Dengarlah, hai orang Israel : TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” (ayat 4 & 5) Mereka diingatkan, bahwa Tuhan yang Esa itulah yang telah membebaskan mereka dari negeri perbudakan dan menjadi bangsa yang benar-benar telah merdeka untuk mendiami Tanah Perjanjian. Mereka harus mengabdi hanya kepada-Nya, yang telah memelihara dan menyertai umat selama ini dengan perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib. Itulah tantangan mereka. Sebab hidup di tengah-tengah keyakinan yang berbeda bisa saja melemahkan iman mereka dan melupakan Tuhan yang telah berperkara dalam hidup mereka. Bagi kita yang hidup dalam zaman globalisasi saat ini, kesetiaan dan kesungguhan berpegang dan memelihara iman kepada Tuhan Yesus adalah mutlak bagi setiap orang Kristen. Jika tidak, maka kita bisa menjadi orang-orang yang terhilang di tengah-tengah derasnya pengaruh nilai-nilai dunia yang destruktif dan ajaran iman yang berbeda. 
  2. “Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” (ayat 6 & 7) Inilah sebuah penegasan, bahwa orangtua berperan penting dalam membangun kehidupan spiritual anak-anaknya, yang harus menjadi perhatian utama untuk dilakukan secara kontinyu dan berkesinambungan, dalam waktu dan keadaan apa pun. Peran itu tidak bisa digantikan oleh pihak mana pun, termasuk gereja gereja (Pendeta dan Guru sekolah Minggu). Betul, bahwa gereja adalah wadah bagi pembinaan iman umat, namun gereja tidak bisa mengambil alih peran tersebut. Gereja hanya memiliki waktu 2 jam dalam seminggu untuk berinteraksi dengan anak, sedangkan 130 jam dalam seminggu anak-anak berada di rumah. Selebihnya, 36 jam dalam seminggu anak-anak berada di sekolah. Jadi, sekitar 77% waktu yang ada bagi anak-anak untuk berinteraksi bersama dengan keluarga, khususnya orangtuanya. Di sinilah, semestinya orangtua menyadari betapa pentingnya peran mereka dalam membangun pondasi iman anak. Tugas itu tidak dilakukan ketika anak sudah lahir, melainkan jauh sebelumnya, yakni ketika kita menentukan calon pendamping hidup dan dalam merencanakan pernikahan. Bahkan kakek-nenek pun tidak bisa mengambil-alih peran tersebut. Mereka hanyalah pemeran pembantu. Semestinya, orangtualah (ayah dan ibu) yang menjadi pemeran utama dan bertanggung-jawab dalam pembentukkan nilai-nilai iman anak-anak. Keluarga inti (ayah, ibu dan anak-anak) menjadi tempat paling utama dan pertama (kelas katekisasi) dalam pembentukan spiritual setiap anggotanya. 
  3. “Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.” (ayat 8 & 9) Keteladanan kasih, itulah cara yang paling efektif dan tepat dalam mendidik iman anak-anak. Di setiap pintu gerbang atau palang pintu rumah orang Yahudi selalu ada “tanda” yang bertuliskan “Tuhan itu Esa. Tuhan itu kasih.” Ketika memasuki rumah, mereka selalu menyentuh “tanda” itu, sebagai isyarat bahwa dalam segala apa pun mereka selalu mengingat dan mengutamakan untuk memberlakukan kasih Allah di dalam rumah itu lebih dari urusan yang lain. Tanda itu pula yang diikatkan pada tangan mereka. Mengapa? Sebab jika kita mengajarkan anak-anak dengan kekerasan melalui tangan kita, maka kekerasan itulah yang menjadi “bad role model”, dan bukan cinta kasih, yang akan terus diingat dan diberlakukan lagi bila mereka telah menjadi orangtua di kemudian hari. Jadi, keteladanan karena kasih Allah dalam Kristus Yesus haruslah menjadi dasar dan pondasi setiap orangtua dalam mentransformasikan iman dan moral hidup kepada anak-anak. 
Sekali lagi, tanggung jawab pendidikan iman yang paling utama dan pertama adalah para orangtua.

0 komentar:

About This Blog

  © Free Blogger Templates Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP