MENJADI PENURUT-PENURUT ALLAH

>> Kamis, 06 Agustus 2009

Renungan Minggu, 9 Agustus 2009 (Biasa XIV)

Bacaan I (I Raja-raja 19 : 4 – 8); Antar Bacaan (Mazmur 130); 
Bacaan II (Efesus 4 : 25 – 5 : 2); Injil (Yohanes 6 : 41 – 51)

Jemaat yang dikasihi Tuhan Yesus,
Suatu malam/dini hari, saya diminta oleh sepasang suami-istri untuk segera ke rumahnya. Saya bertanya : “Mengapa ?” Mereka jawab : “Jika bapak tidak datang, kami akan cerai ?” “Loh, kok bisa begitu ?” jawab saya dengan keheranan. Akhirnya saya turuti keinginan mereka, bukan karena “ancaman” bahwa mereka mau cerai, tetapi karena saya anggap hal itu sangat penting. Maka dini hari yang dingin, saya telusuri jalan menuju ke rumahnya. Tidak mudah mendapatkannya. Setelah bertanya sana sini, saya sampai juga di rumah mereka. Sesampainya di sana, saya melihat mereka masih terus bertengkar; muka sanga suami ada bekas cakaran dan di beberapa bagian tubuh istrinya memar-memar. Pikir saya, “Mereka baru saja melancarkan perang dunia ke-3”. Pertengkaran itu selesai pukul 03.30. Saya berpikir, “Kok, pengen berantem aja musti disaksikan pendeta seh ?” Di akhir pertemuan itu, mereka minta didoakan dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi pertengkaran. Hanya saja, peristiwa semacam itu terus berulang bila akhir bulan tiba…….
Relasi antar sesama yang didasari cinta kasih merupakan bentuk kesaksian yang seharusnya kita perjuangkan dalam hidup kekristenan kita. Idealnya : kehendak Tuhan jauh lebih diutamakan ketimbang kepentingan diri sendiri.
Namun dalam kenyataannya, tidak jarang kehendak kita yang jauh lebih menguasai kesadaran emosional dan cara berpikir kita dari pada keinginan untuk menuruti kehendak Tuhan. Lihatlah pengalaman Elia dalam I Raja-raja 4 – 8. Dalam pelariannya dari pengejaran Izebel (istri raja Ahab di Samaria), Elia masuk ke padang gurun tanpa didampingi bujangnya dalam kondisi sangat kelelahan. Suatu pemandangan yang memang begitu kontras : sebagai seorang nabi yang memiliki kuasa Tuhan, seharusnya ia mampu melawan segala kesusahan dan penderitaan hidup, termasuk situasi sulit apapun yang dihadapi. Semestinya nabi Elia mampu mengalahkan kelemahan dirinya akibat terus-menerus dikejar oleh bala tentara kerajaan di mana Elia telah memenangkan peperangan rohani melawan 450 nabi Baal dan membantai mereka di sungai Kison. Artinya, pengejaran itu tentu bukanlah perkara yang sulit bila dibandingkan peperangan rohani yang sudah ia lewati….. Hanya saja, kita membaca, bahwa nabi Elia sudah merasa tidak mampu lagi melawan keadaan dirinya, akibat menghadapi kelarapan dan kehausan selama dalam pelarian. Ia berkata : "Cukuplah itu ! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku." (I Raja-raja 19 : 4)
Ini menjadi suatu bukti, bahwa ketaatan kepada Tuhan bukanlah suatu hal yang dianggap biasa-biasa saja untuk kita jalani. Menuruti kehendak Tuhan haruslah kita jalani dengan kesadaran penuh, bahwa segala sesuatu harus siap kita tanggung, termasuk melawan diri sendiri yang lelah memikul semua beban yang harus ditanggung …. Nabi Elia tidak mampu menahan kesusahan dirinya akibat kehausan dan kelaparan yang dideritanya…..
Tantangan terberat dalam bersikap taat bukanlah datang dari pihak luar, tetapi dari dalam diri kita sendiri….. Egosentrisme, kebanggaan, kepuasan diri, kelelahan fisik dan psikis seringkali menjadi pengganggu paling besar yang mampu menggagalkan sikap taat kita kepada Tuhan……. Contoh : Daud ! Dia dipilih oleh Tuhan menggantikan Saul, selain karena memiliki hati yang baik, juga kepadanya ditugaskan untuk menjadi saksi dan pelaksana kehendak Tuhan atas bangsanya. Tuhan ingin agar melaluinya, bangsa Israel hidup dalam damai sejahtera dan mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan dalam hidup mereka. Namun, setelah menjadi seorang raja yang sangat berkuasa, ia terjebak pada naluri libidonya. Ia mengambil Batsyeba dan menyingkirkan suaminya, Uria, panglima perang Daud sendiri !
Begitu juga cerita yang tertulis dalam Yohanes 6 : 41 – 51. Sekalipun terbukti Tuhan Yesus memiliki kuasa dan kebijakan mengajarkan Firman Tuhan, tetapi tetap saja para pendengar-Nya tidak bersedia menerima Yesus sebagai roti hidup. Mengapa mereka menolak Yesus ? Ada berbagai alasan. Salah satunya adalah mereka melihat keluarga Yesus. Bagi mereka, Yesus yang berasal dari keluarga tukang kayu, mana mungkin mereka mempercayai ucapan Yesus, bahwa Ia adalah roti hidup yang turun dari sorga...... Orang banyak tidak memperhatikan makna ucapan Yesus, tetapi mereka lebih melihat dari mana Yesus berasal… Akibatnya, mereka terkendala untuk mengerti dan memahami ucapan Yesus. Mereka lebih mengendalkan pola pikir mereka sendiri daripada bersikap rendah hati dan ketulusan untuk belajar mengerti dan memahami ucapan Yesus….. Ini menjadi kerugian besar para pendengar-Nya, sebab mereka tidak mendapatkan apa-apa, sekalipun Tuhan Yesus sudah mengajarkan makna hidup sebagai orang percaya…
Maka, hal yang patut untuk diwaspadai bukanlah apa yanga da di luar diri kita, tetapi yang ada dalam diri kita sendiri, yang dapat menjadi pengganggu dan merusak sikap taat kita kepada Tuhan. Kita harus mampu melawannya dengan mengingat, bahwa Tuhan juga memberikan pertolongan dalam kelemahan kita ! Seperti kisah Elia, Tuhan menyediakan apa yang dibutuhkan Elia untuk bisa melawan kesusahannya, sehingga ia tidak tenggelam dalam keputus-asaan akibat kehausan dan kelaparan. Tuhan pasti turun tangan siap untuk menolong dan menopang ! Lihatlah bagaimana Tuhan, melalui malaikat-Nya mengatakan : “Bangunlah, makanlah ! Sebab kalau tidak, perjalananmu nanti terlalu jauh bagimu." (ayat 5 & 7) Allah pasti tidak meninggalkannya, agar Elia tetap pada tugas panggilannya melakukan kehendak Tuhan……
Bagi kita, penyertaan Allah itu dalam diri Roh Kudus, yang senantiasa menyertai hidup orang percaya ! Roh Kudus itu diam di dalam diri kita untuk menolong, membimbing, menolong, menghibur bahkan menguatkan kita bila kita merasa tidak berdaya…….
Jadi, yang terpenting adalah bagaimana melakukan kehendak Tuhan, menjadi penurut-penurut Allah. Bagaimana hal itu dapat dilakukan ? Paulus mengingatkan dalam suratnya kepada jemaat di Efesus demikian, “….. hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah.” (Efesus 5 : 2) Bentuknya ? (1). Buanglah dusta (ayat 24); (2). Apabila marah, janganlah berbuat dosa (ayat 26); (3). Bila pencuri, janganlah mencuri lagi dan bekerjalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (ayat 28); (4). Janganlah berkata kotor, tetapi berkatalah yang baik agar membangun kehidupan (ayat 29). Apa arti semuanya itu ? Jika ingin menjadi penurut-penurut Allah, maka hiduplah di dalam kasih di antara sesama dengan keramahan dan ketulusan….. Itulah kehendak Tuhan….
Mengapa ? Tuhan Yesus adalah roti hidup. Dialah penolong dan penopang utama dalam hidup kita. Bukan sekedar mencukupkan segala kebutuhan fisik kita, tetapi yang perlu diingat adalah Tuhan Yesus telah menyerahkan hidup-Nya sendiri untuk menyelamatkan umat manusia. Tindakan-Nya merupakan bukti cinta kasih-Nya, yang seharusnya kita tiru dan kehendak-Nya kita turuti. Inilah alasan bagi kita menjadi penurut-penurut Allah.

0 komentar:

About This Blog

  © Free Blogger Templates Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP