DISIPLIN ROHANI dan LEGALISME

>> Kamis, 06 Agustus 2009

Bacaan Alkitab : Matius 5 : 17 – 20
Para pemuda yang dikasihi oleh Tuhan Yesus Kristus,
Jika perikop di atas kita baca sepintas lalu, maka kita dapat mengatakan, bahwa dari seluruh Khotbah yang diucapkan Yesus di bukit, maka perikop tersebut di atas merupakan pernyataan Yesus yang paling mengherankan dan membingungkan. Betapa tidak ? Mari kita perhatikan dengan seksama !
Yesus mengatakan di dalam Matius 5 : 19 demikian, “…siapa yang meniadakan salah satu hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga.; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga.” Dengan kata lain, Yesus seolah-olah menempatkan hukum Taurat itu begitu suci, sehingga tidak ada bagian yang terkecilpun yang akan ditiadakan. Namun dalam berbagai peristiwa yang kita baca di dalam Alkitab memperlihatkan, bahwa Yesus seringkali melanggar hukum Taurat Yahudi. Ia tidak mematuhi hukum yang mengatakan, bahwa orang harus mencuci tangan sebelum makan. Ia menyembuhkan orang sakit pada hari Sabat, meskipun hukum melarang perbuatan semacam itu. Ia bahkan dikutuk dan disalib dengan tuduhan sebagai pelanggar hukum.
Kita melihat, bahwa pada satu sisi, Yesus menganggap penting hukum itu di dalam kehidupan manusia. Namun pada sisi yang lain, Ia seolah-olah tidak peduli dengan hukum yang ada, dan bahkan Ia sendiri telah melanggarnya. Coba saja kita perhatikan : Seorang wanita yang tertangkap basah karena perjinahan jelas-jelas bertentangan dengan hukum agama. Ia dianggap seorang pendosa karena perbuatannya. Oleh Yesus, perempuan itu justru dibela-Nya dari kecaman orang banyak dan diampuni-Nya.
Kita tentu bertanya, apa arti semuanya ini ? Apakah hal ini menunjukkan bahwa Yesus adalah pemimpin yang plin-plan dan tidak konsisten, seperti penilaian orang-orang Farisi dan para ahli Taurat ? Apakah Yesus ini juga adalah “liberalis”, “sesat”, “tidak alkitabiah”, tidak memperdulikan tradisi-tradisi agama yang asli, murni dan suci, serta menafsirkan Kitab Suci dan Taurat sekehendak hati ? Atau, justru Ia mempunyai maksud dengan perkataan-Nya tentang hukum Taurat itu ? Mari kita lihat bersama.
Sebelum kita menjawab pertanyaan itu, ada baiknya jika kita melihat dulu apa yang disebut hukum Taurat yang berlaku saat itu sehingga kita bisa mengerti maksud Tuhan Yesus dengan perkataan-Nya itu, dan agar kita tidak salah menafsirkan dan menerapkannya.
Orang-orang Yahudi menggunakan kata Hukum dengan 4 cara : Pertama, mereka memakai dan memahami Hukum dalam arti 10 hukum (Dasa Titah). Kedua, mereka memakai kata tersebut dalam arti 5 kitab yang pertama dalam Kitab Suci (Kejadian-Ulangan). Ketiga, Mereka juga memakai ungkapan kitab Hukum dan para nabi yang berarti seluruh Kitab Suci (PL). Keempat, mereka memakai kata hukum itu dalam arti Hukum Lisan/Hukum tertulis.
Pada masa hidup Yesus, arti yang ke-4 itulah yang paling umum digunakan, dan di dalam kenyataannya Hukum Lisan/Tertulis itulah yang paling banyak dikutuk dan dikritik oleh Yesus. Mengapa demikian ?
Orang Farisi itu amat ketat dan terikat pada hukum dan peraturan. Kehidupan mereka cuma punya dua sisi : hitam dan putih. Memenuhi peraturan berarti putih. Menyalahi aturan, apapun alasannya adalah hitam. Tak kenal kompromi. Tak ada kecuali. Setiap hukum harus diterjemahkan dalam hukum-hukum yang lebih kecil. Jika ada hal yang belum sempat diatur, maka dibuatlah peraturan baru.
Misalnya, kita lihat satu contoh kecil. Hukum Taurat mengatakan, bahwa hari Sabat haruslah disucikan, dan bahwa pada hari itu orang tidak boleh melakukan pekerjaan apa pun. Hukum ini merupakan prinsip dasar. Namun hukum ini tidak menjelaskan pekerjaan yang macam apa sehingga dianggap tidak menyucikan hari Sabat. Lalu, para ahli Taurat membuat ketetapan-ketetapan dan ketentuan yang baru. Di dalam kenyataannya, mereka berhasil menemukan peraturan dan ketentuan yang jumlahnya sangat banyak. Apakah pekerjaan itu ? Ternyata mereka memasukkan hampir segala sesuatu ke dalam definisi pekerjaan, umpamanya : membawa beban pada hari Sabat. Selanjutnya mereka harus mendefinisikan juga apa yang dimaksud dengan beban, dst…dst, sehingga mereka memperdebatkan apakah pada hari Sabat orang boleh/tidak boleh mengangkat pelita ke tempat lain; atau apakah seorang penjahit melakukan dosa kalau ia berjalan di luar dengan sebuah jarum yang masih berada di jubahnya; atau apakah seorang wanita boleh/tidak boleh, memakai perhiasan atau rambut palsu; atau apakah orang boleh keluar rumah dengan gigi palsu atau tongkat penyangga pada hari Sabat; atau apakah orang boleh/tidak boleh, menggendong anak pada hari itu, dsb.
Menurut mereka, semuanya itu merupakan hal yang secara agamaniah bersifat pokok. Jadi bagi mereka, agama merupakan tata hidup dan peraturan-peraturan yang sangat legalistis. Sehingga tidaklah mengherankan bila pada jaman itu, orang-orang Yahudi menganggap agama sebagai soal memberlakukan beribu-ribu peraturan dan ketentuan hukum secara hurufiah, dan ini digunakan secara mutlak sebagai ukuran yang menentukan seseorang selamat/tidak di kemudian hari. Peraturan-peraturan baru itu ditambahkan ke dalam hukum Taurat dan dilegalisasi, dan setiap orang Yahudi harus mematuhinya. Jika tidak mematuhinya, berarti ia tidak selamat. Inilah penyimpangan mereka di dalam menerapkan hukum-hukum itu. Hukum tidak lagi ditempatkan sebagai sarana bagi manusia untuk mengenal dan menaati kehendak Tuhan, tetapi sudah menjadi tujuan. Sikap inilah yang disebut sebagai legalisme.
Jika Yesus mengatakan, “Lakukanlah dan ajarkanlah hukum Taurat”, maka bagi-Nya, hukum Taurat yang dimaksud bukanlah ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan tambahan yang dilegalisasi itu, melainkan 10 hukum (Dasa Titah) yang merupakan inti dan dasar dari semua hukum, yang seluruh maknanya dapat diringkas di dalam satu kata, yakni KASIH : Kasih kepada Tuhan dan kasih kepada manusia. Hu-kum itu pulalah yang tidak hanya dinyatakan dengan perkataan, “Kasihilah Tuhan Allahmu dan kasihilah sesamamu”, tetapi juga Ia nyatakan di dalam sikap hidup-Nya sehari-hari, bahkan Ia sendiri taat sampai mati di kayu salib (Salib merupakan lambang ketaatan-Nya kepada Allah dan kasih-Nya kepada manusia). Oleh sebab itu, bagi Yesus mematuhi hukum Taurat berarti mencari kehendak Tuhan di dalamnya, dan bahwa bila manusia menemukannya, ia harus mempersembahkan seluruh hidupnya untuk mentaati kehendak Allah itu. 
Oleh sebab itu, Yesus mengatakan, “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” (ayat 20)
Tuhan Yesus sendiri mengakui, bahwa para ahli Taurat dan orang-orang Farisi adalah orang-orang yang takwa. Ia tidak memandang rendah hidup keagamaan mereka. Mereka sungguh-sungguh menjalankan hidup keagamaannya dengan serius dan memperoleh rasa sukacita dengan menaati hukum-hukum itu, betapa pun sulitnya. Apapun yang tertulis dalam kitab suci, ditaati. Satu titik/komapun tak terlampaui. Mereka bahkan menambahkannya dengan hukum-hukum ciptaannya sendiri. Mereka adalah orang-orang yang religius sampai ke jantung hati. Mereka adalah rohaniawan sejati, kaum ulama yang jempolan.
Bila benar demikian, mengapa Yesus justru mengatakan, “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari hidup keagamaan mereka….” Tidakkah cukup baik dan benar kehidupan keagamaan mereka ? Apanya yang tidak benar dalam diri orang-orang Farisi dan para ahli Taurat ?
Di sinilah kita perlu mengoreksi diri, dan perlu juga untuk mencurigai kebenaran kekristenan kita masing-masing. Sudah lebih benarkah kita dibandingkan dengan hidup kegamaan mereka ? Sebaliknya, mungkin kita sering menganggap diri kita lebih baik dan lebih benar dari orang lain di sekitar kita. Kita seringkali menganggap diri kita lebih suci dibandingkan orang lain, sehingga tanpa disadari, kita justru telah berlaku sama seperti orang-orang Farisi dan para ahli Taurat. Mengapa ?
Karena, ketika mendapatkan orang berdosa, mereka bukan mengampuni dan mengajaknya untuk berbalik kepada Allah, tetapi justru menghukum dan menjadi hakim atas mereka. Karena, ketika orang banyak datang kepada Yesus, mereka bahkan memusuhi-Nya. Karena, ketika sesamanya ditolong oleh Yesus dari kelaparan dan penyakit, mereka justru mengecam-Nya. Mengapa ? Hukum yang mereka buat tidak menyediakan tempat bagi orang-orang berdosa. Hukum yang mereka tambahkan tidak menyediakan tempat bagi orang-orang yang menderita. Justru sebaliknya, hukum-hukum yang mereka buat itu telah menjerat orang kepada kewajiban dan agama hanya menjadi belenggu yang memenjarakan. Orang tidak lagi merendahkan diri kepada Allah, tetapi justru memegahkan diri di hadapan Allah. 
Hukum Taurat masih berlaku di dalam kehidupan kita manakala kita menempatkan itu sebagai sarana dan bukan tujuan, karena “Taurat diciptakan untuk manusia dan bukan manusia untuk Taurat.”
Di sinilah, setiap orang percaya perlu dan seharusnya belajar terus-menerus untuk membangun kehidupan spiritualitasnya dengan melakukan disiplin rohani. Disiplin rohani merupakan cara/sikap seseorang untuk bergaul dan mengenal Allah, baik itu dalam hal beribadah maupun menaati dan mematuhi perintah Tuhan. Setiap orang percaya seharusnya berusaha untuk terus-menerus melakukan yang terbaik dalam menjalankan kehidupan imannya (Filipi 3 : 4 – 16). 
Namun setiap orang haruslah juga berhati-hati ketika ia menjalankan disiplin rohani. Sebab bisa saja ia menjadi seorang yang legalisme. Menjadi sombong rohani dan menganggap bahwa apa yang telah mampu dicapainya merupakan ukuran untuk mengukur sikap hidup orang lain dan menghakiminya. Bukankah ini sering terjadi juga dalam kondisi hidup di jaman modern sekarang ini ?
Sebenarnya, persatuan dan kesatuan orang percaya menjadi pecah karena adanya sikap yang sombong rohani. Mereka yang menganggap dirinya telah berhasil dalam menjalankan kehidupan barunya sebagai seorang pengikut Kristus, dengan mudah menuduh bahwa seseorang tidak bisa diselamatkan kalau tidak terlebih dahulu dibaptis selam atau Roh Kudus, dan sebagainya. Ini sangat jelas terlihat, misalnya upaya sekelompok orang Kristen yang hendak mengkristenkan orang yang sudah kristen. Satu sisi, adalah sesuatu yang baik bila kita mengajak orang yang sudah memiliki iman kepada Kristus tapi dalam kehidupan nyata hal itu tidak nampak untuk mengingat kembali bahwa kita harus hidup dalam pertobatan, bukankah hal ini adalah mulia ? Hanya saja, di sisi lain, sikap itu telah terlalu jauh dengan mendiskreditkan pihak lain. Sikap tersebut didukung oleh legalisme yang sempit, yang hanya melahirkan kesombongan rohani. Seharusnya disiplin rohani justru melahirkan sikap yang bergaul dan semakin mengenal Tuhan. Yang perlu dibangun oleh setiap orang percaya adalah spiritualitasnya, bukan legalismenya.


0 komentar:

About This Blog

  © Free Blogger Templates Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP