KUAT DI LUAR, RAPUH DI DALAM

>> Minggu, 09 Agustus 2009

Matius 23 : 25 - 28

“Kuat di luar namun rapuh di dalam” menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Jika itu diibaratkan buah, maka apa yang nampak dari luar belum tentu menjamin isi yang bagus di dalamnya. Biasanya buah seperti itu tidak kita inginkan. Pilihan yang terbaik adalah keadaan luar (penampilan) dan keadaan dalam (isi) sama-sama mendukung. Nah, bagaimana jika hal itu menyangkut kehidupan manusia ?

Perjanjian Lama pernah menceritakan kisah seorang Hakim bernama Simson. Ia memiliki kelebihan sebagai karunia Tuhan, yakni memiliki kekuatan yang luar biasa sehingga setiap kali peperangan, ia selalu memenangkannya bagi bangsanya. Tenaga yang kuat itu adalah anugerah Tuhan baginya, agar ia dapat menjalankan fungsinya sebagai “hamba Allah”. Namun karunia itu tidak dibarengi karakter yang baik. Ia mudah jatuh hanya karena wanita. Itulah tumit arkhilesnya. Akibatnya, pekerjaan dan kemampuan yang tampak di luar bisa saja tidak memberikan gambaran sesungguhnya tentang mutu rohani dan hubungan kita dengan Tuhan. Seharusnya apa yang tampak dalam kegiatan di luar kita merupakan hasil dari hubungan patuh dan teguh dengan Tuhan.

Tuhan Yesus berkata dengan nada keras : “…di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan.” Perkataan Tuhan Yesus ini ditujukan kepada kaum Farisi dan para ahli Taurat. Memang, ada konflik yang terjadi dan itu cukup tajam antara Yesus Kristus dengan mereka. Konflik itu berjalan sejak Ia memulai tugasnya untuk mengajarkan tentang kasih dan memberikan keselamatan bagi dunia ini. Kali ini, nada keras itu malah berupa kecaman. Pertanyaan kita, mengapa Yesus mengecam mereka begitu kerasnya ? Apa alasan-Nya sehingga Ia berkata demikian ? Mari kita telusuri bersama.

Bagi umat Yahudi, kaum Farisi dan para Ahli Taurat adalah para cendekia agama yang disanjung dan dipuja. Hal ini dapat dimengerti, sebab mereka amat serius dengan agama. Apapun yang tertulis dalam Kitab Suci ditaati. Satu titik dan komapun tak terlampaui (Setiap hari mereka berdoa minimal 3 kali; setiap bulan mereka memberikan perpuluhan; Puasa dijalankan dan ibadah tidak pernah terlewatkan. Mereka bahkan menambahkannya dengan hukum-hukum ciptaan sendiri. Pendek kata, mereka adalah orang-orang yang relogius, rohaniawan sejati.

Bila benar begitu, mengapa Yesus amat mengecam mereka ? Jawabnya adalah, karena kecongkakan rohani mereka itulah. Agama mereka adalah agama “perbuatan baik”. Setiap perbuatan baik adalah prestasi, dan prestasi berarti hak untuk menerima ganjaran, upah dan pahala. Jadi, apapun yang mereka terima (keselamatan) adalah hasil keuletan mereka dan bukanlah hadiah (anugerah), sehingga mereka berhak untuk merasa berbangga diri dan sombong. Di hadapan Allah, mereka menuntut, tak meminta lagi (seperti anak bungsu yang menuntut kepada ayahnya “bagian harta milik yang menjadi haknya”).
Kesombongan rohani ini nampak juga dalam sikapnya menilai dan menghakimi orang lain menurut ukuran dan kaca mata mereka. Yang berbeda dengan mereka dianggap kafir, sesat dan berdosa. Apalagi kalau bukan kecongkakan rohani ? Mereka bukan saja mengangkat kepala di hadapan Allah dengan sikap menagih hutang, melainkan juga mengangkat dagu di hadapan sesama dengan sikap seorang hakim rohani.

Yesus tidak menyukai hal ini, sebab iman yang Ia perkenankan, bukanlah iman yang menghakimi, tetapi iman yang siap mengampuni. Yesus tidak menyukai hal ini, sebab iman yang Ia kehendaki adalah iman yang menundukkan diri di hadapan Allah, dalam kesadaran akan ketidak-layakkan sendiri; serta menundukkan diri di hadapan sesama, dalam kesediaan untuk melayani.

Yesus sangat tidak menyukai hal ini, sebab dengan sikap seperti itu, agama lalu menjadi belenggu yang memenjarakan. Iman menjadi sarat oleh beban dan kewajiban, tak lagi membebaskan. Hidup pun lalu kehilangan sentuhan kasih, sebab hidup diukur menurut hitam atau putih.

Itulah sebabnya, Yesus menyebut mereka sebagai orang-orang munafik. Sebab cawan dan pinggan dibersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalamnya penuh rampasan dan kerakusan. Bagi-Nya, apa yang dilakukan oleh mereka tidak ada faedahnya sama sekali. Menekankan soal penampilan dibandingkan isi hati hanya menjadikan orang-orang yang hidup bertopeng.

Itulah sebabnya, Yesus menyebut mereka sebagai orang-orang durjana. Sebab mereka sama seperti kuburan yang indah luarnya saja karena dilabur putih dan nampak bersih, tetapi sebelah dalamnya layaknya mayat yang penuh tulang-belulang dan berbau tidak menyedapkan.

Sebaliknya, Yesus amat dibenci oleh mereka. Yesus dianggap sebagai pemimpin rohani yang urakan, dianggap terlalu “liberal”. Sebab Ia memperhatikan yang tersirat, bukan yang tersurat. Bagi mereka, Yesus adalah pemimpin yang plin-plan. Tidak konsisten dan konsekuen, sebab Ia lebih suka mengampuni daripada menghakimi. Bagi mereka, Yesus adalah tokoh berbahaya, menyesatkan dan menggoncangkan iman umat. Sebab bila bekas pelacur dijadikan sahabat, di mana lagi norma dan martabat ?!
Memperhatikan kedua sikap di atas, maka gaya hidup kaum Farisi dan para ahli Taurat lebih dekat dengan kehidupan dan cara berpikir kita. Sedangkan sikap Yesus begitu berlawanan dengan naluri keagamaan kita. Inilah yang menjadi kecaman Yesus kepada mereka.
Tak banyak orang memiliki kerendahan hati untuk menerima sesuatu dari Tuhan dengan cuma-cuma. Jauh lebih banyak orang yang ingin berbuat sebanyak-banyaknya untuk Tuhan, agar merasa berhak menerima sebanyak-banyaknya pula dari Tuhan.
Tak banyak orang memiliki kerendahan hati untuk menerima orang lain seperti apa adanya. Jauh lebih banyak orang yang menuntut sesama sama seperti mereka, daripada seperti Yesus Kristus yang bersedia mengosongkan diri-Nya sendiri dan menempatkan pada posisi sesama (Filipi 2 : 5 – 8).

Apa makna kecaman Yesus kepada mereka bagi hidup kita ? Sesuatu yang ada di luar (penampilan, kesibukan pelayanan, dsb) harus berkaitan erat dengan apa yang ada di dalam (keadaan rohani yang bersumber pada hubungan yang dekat dan benar dengan Tuhan). Penampilan yang baik atau pelayanan yang baik harus didukung oleh sikap hati yang benar di hadapan Allah. Tanpa itu, penampilan kita sebaik apapun, atau pelayanan kita sesibuk dan sebanyak apapun, tokh tidak ada maknanya sama sekali, meskipun dilihat oleh banyak orang. Jika itu berkaitan dengan pelayanan, maka pelayanan kita tidak untuk dijadikan dasar berbangga diri, apalagi bersombong diri. Pelayanan kita semata-mata karena anugerah Tuhan; Ia memberikan kesempatan untuk kita mengakualisasi diri atas kesempatan dan talenta yang telah Ia berikan. Ia memberikan kesempatan untuk kita menyatakan rasa syukur atas hidup dan keselamatan yang telah kita terima dari-Nya, dan bukan untuk berpamrih.

0 komentar:

About This Blog

  © Free Blogger Templates Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP