PUASA YANG MUNAFIK

>> Minggu, 09 Agustus 2009

Zakaria 7 : 1 - 14

PENDAHULUAN
Pernahkah kita merasakan, bahwa ibadah atau doa-doa kita seakan-akan tidak dijawab oleh Tuhan ? Tidak sedikit orang pernah mengeluhkan hal itu. Ketika Tuhan dirasakan diam saja terhadap keadaan hidupnya, tentunya orang merasa berjalan sendiri dan tidak tahu lagi harus berbuat apa jika Tuhan tidak mau turut campur.

Sebenarnya, pengalaman para penduduk Betel tidak jauh berbeda dengan kita. Mengapa demikian ? Mari kita lihat latar belakang persoalannya. Pada jaman nabi Zakaria, bangsa Israel telah bebas dari penjajahan Babel dan mereka telah kembali ke negrinya dari pembuangan di Babel. Karena Bait Suci telah dihancurkan, maka mereka membangun kembali. Namun mereka merasa ragu apakah pantas bagi mereka untuk melanjutkan ibadah puasa yang diadakan sebagai peringatan kepada masa-masa bencana dalam sejarah mereka yang silam. Sebab, mereka beranggapan bahwa selama ini Allah tidak berbuat apa-apa terhadap pengalaman pahit yang mereka alami selama Babel menjajah dan membuang mereka. Selama masa pembuangan, mereka tetap melakukan kewajiban tersebut, namun pada kenyataannya mereka tetap saja menderita bahkan penderitaan itu semakin hebat. Pikir mereka, Allah seakan-akan telah mengeraskan hati-Nya dan tidak mau peduli lagi dengan keadaan mereka. Itulah sebabnya, mereka menjadi putus asa dan berkata, “Haruskah kami sekalian menangis dan berpantang dalam bulan yang kelima seperti yang telah kami lakukan bertahun-tahun lamanya ?” (ayat 3b)

Atas pertanyaan bangsa Israel, Allah memberikan jawaban melalui nabi Zakaria. Orang-orang ini mungkin dengan jujur telah mencari keterangan tentang soal melanjutkan puasa, tetapi jawaban nagi itu menyatakan bahwa mereka tidak mengemukakan alasan yang benar dari sebagian besar orang buangan yang telah kembali itu. Apa sebabnya ? Nabi menjelaskan, bahwa kebaktian-kebaktian mereka hanya merupakan upacara saja (ayat 5 & 6).

Apa dasar Tuhan menyatakan hal demikian ? Puasa bukan sekedar kegiatan seremonial keagamaan saja. Orang yang berpuasa adalah orang yang mau belajar untuk mengekang hawa nafsu dan mengendalikan diri dari segala larangan Tuhan. Berbeda dengan motivasi mereka. Mereka berpuasa justru untuk mendapatkan sesuatu. Boleh dibilang, mereka berpuasa tapi berpamrih untuk mendapat belas-kasihan Tuhan. Dan seringkali terjadi, orang yang berpuasa hanya sebagai topeng kemunafikan belaka. Sekalipun mereka berpuasa, namun hati mereka tidak taat. Padahal Allah selalu mengingatkan umat untuk melakukan kebenaran yang praktis, yang diungkapkan dalam keadilan, kemurahan dan kasih sayang kepada semua orang (ayat 9). Mereka diingatkan kepada suatu perintah khusus dalam Taurat (ayat 10; bandingkan Keluaran 22 : 21 – 22).

“Tiga derajat kedegilan hati disebut dalam ayat 11: mereka tidak mau menghiraukan; mereka melawan orang-orang yang memberi peringatan; dengan terang-terangan mereka menghina nabi-nabi itu.” Sikap itu memuncak dalam ayat 12 – “Mereka membuat hati mereka keras seperti batu amril.” (seperti batu intan) Allah berseru kepada mereka dengan perantaraan para nabi, namun mereka tidak mau mendengarkan. Mereka berseru kepada Allah dalam kesusahan mereka, namun Ia tidak mau mendengarkan (ayat 13). Sebagai akibatnya, hukuman yang hebat akan menyusul (ayat 14).

Apa artinya bagi kita ? Ibadah yang benar adalah ibadah keseluruhan hidup kita (Roma 12 : 1) Ibadah yang benar adalah totalitas hidup kita. Ibadah juga bukan bertujuan agar kita memperoleh sesuatu (pamrih) atau untuk menunjukkan diri sebagai orang yang saleh. Ibadah justru memacu kita untuk hidup dengan sikap rendah hati dan berani memberlakukan kasih secara nyata.

0 komentar:

About This Blog

  © Free Blogger Templates Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP