DUNIA : DICINTAI ATAU DIBENCI ? (Dalam konteks Bergereja & Bermasyarakat)

>> Minggu, 09 Agustus 2009

“Dunia : dicintai atau dibenci ?” Pilihan ini sangat sulit. Sebab dalam prakteknya, kita selalu hidup di antara dua rasa itu. Di satu sisi, “cinta” kepada dunia ini sulit untuk kita hindari. Sebab kita yang hidup di dalam dunia ini tidak mungkin untuk tidak “berdamai” dengan nilai-nilai dunia. Sikap kita menjadi konformistis. Bahkan kita merasa harus menggunakan cara-cara dunia ini untuk bisa menjalani hidup ini. Jika tidak, mungkin kita tidak beruntung dan tidak bisa hidup karena berbeda dengan dunia. Hal ini kita anggap sebagai kenyataan hidup !

Namun di sisi lain, kita mengamini apa yang dikatakan oleh Alkitab tentang apa yang seharusnya, apa yang ideal. Yesus mengatakan, bahwa kita harus menjadi “garam” yang mengasini, menjadi “terang” yang menyinari, menjadi “ragi” yang mengkhamirkan dunia atau masyarakat di mana kita hidup. Rasul Paulus juga menulis, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini”. (Roma 12 : 2) Maksudnya, jangan hanya ikut-ikutan dengan apa yang ada di dalam dunia. Pegang teguh identitas dan integritas kita sebagai orang Kristen ! Jangan luntur, jangan aus oleh gesekan dan benturan dengan roh-roh zaman yang ada di dalam dunia. Jangan terhanyut dengan nilai-nilai dunia yang sangat mungkin menyesatkan kita.

Atas dua pilihan itu, kita sering bersikap dualisme. Bila berada di luar gereja, kita merasa bebas untuk berbuat apa saja, bahkan dengan sadar menggunakan cara-cara dunia agar kita bisa hidup. Menyuap itu wajar. Menyikut lawan itu wajar. Menyakiti itu wajar. Segala cara dipakai agar kita bisa hidup, sebab itulah permainan dunia. Kita harus begitu, sebab memang harus begitu jika kita ingin hidup. Namun kondisi itu segera berubah bila kita berada di dalam gereja. Kita menjadi “alim” dan ekslusif. Kita merasa bahwa apa yang sudah dilakukannya selama berada di luar gereja itu adalah dosa, sehingga kita merasa perlu untuk mengakuinya dengan jujur kepada Tuhan dalam pengakuan dosa melalui ibadah. Sebab di dalam gereja, segalanya harus suci dan kudus. Segala urusan dunia harus ditanggalkan di dalam gereja…..dan kita harus menggunakan jubah kesucian.

Idealnya, sebagai garam kita harus larut dan lebur agar dapat menggarami (memberi rasa asin). Kita tidak boleh konformistis dengan dunia. Tapi bagaimana lagi ? Realitas hidup seakan-akan mendorong kita begitu kuat untuk nyebur sepenuhnya ke dalam dunia. Kita berdamai dengan dunia…..

Apakah harus demikian ? Tidak ! Garam itu memang harus larut, harus lebur. Karena itulah kita harus berada di dalam dunia (masyarakat). Jika hanya disimpan di dalam lemari, ditaruh di toples, garam seperti itu tidak ada gunanya. Sebaliknya, jika kita memilih untuk nyebur sepenuhnya ke dalam dunia, mengikuti semua aturan dan permainan dunia, maka kita tidak mungkin berfungsi sebagai garam. Atau tetap garam, tetapi tidak memberi rasa asin. Jika demikian, maka garam itu tidak ada gunanya lagi selain dibuang dan diinjak-injak orang. Jadi kesimpulannya, kita memang harus nyebur, tetapi tidak boleh sepenuhnya. Kita tidak boleh merasa diri ekslusif, tetapi juga tidak konformistis. Kondisi itulah yang memang harus kita hadapi terus-menerus. Kita mesti hidup di dalam ketegangan yang terus-menerus di antara dua kutub. Atau menurut Martin Luther, hidup kita berada dalam paradoks yang terus-menerus. Mau “ikut dunia” sepenuhnya tidak boleh, karena kita ini anak-anak Tuhan. Tetapi mau “ikut Tuhan” sepenuhnya juga tidak mungkin, karena kita masih berada di dalam dunia.
Lalu kita harus bagaimana dalam menghadapi dua kutub itu ?

Agus M. Hardjana dalam bukunya yang berjudul “Religiositas, Agama & Spiritualitas” menyatakan, bahwa sebagai orang yang beriman, kita sepatutnya memiliki hidup spiritual yang membumi. Yakni, hidup kita seharusnya berpusat pada Roh Allah dan dijiwai oleh-Nya dengan tetap hidup di dunia dengan segala tantangan dan masalah yang ada. Dengan hidup spiritual, kita sebagai orang-orang spiritual berusaha untuk semakin hari semakin menyatu dengan Roh Allah, hidup mengambil bagian dari sifat-sifat Allah serta ikut serta bekerja bersama Allah mendatangkan kebaikan, keselamatan, dan kesejahteraan di dunia (p. 92).

Atau dalam bahasa Yosua, yang diucapkannya dalam pidato perpisahannya, begini : “Tetapi kamu harus berpaut pada TUHAN, Allahmu, seperti yang kamu lakukan sampai sekarang.” (Yosua 23 : 8) “Dan demi nyawamu bertekunlah mengasihi Tuhan Allahmu.” (Yousa 23 : 11) Apa artinya ?

Mari kita perhatikan konteksnya terlebih dahulu. Pada waktu Yosua memimpin umat Israel untuk masuk dan merebut tanah Kanaan, ada satu hal yang penting sekali untuk kita perhatikan. Yaitu dengan sengaja Tuhan tidak membasmi atau mengusir habis bangsa-bangsa Kanaan. Mereka dibiarkan memliki keyakinan dan menjalani pada cara hidupnya. Itu artinya, Tuhan ingin agar bangsa Israel tidak hidup eksklusif dan terasing dari masyarakat luas. Bahwa di bumi ini tidak hanya mereka, tetapi juga ada orang-orang lain yang memiliki norma-norma dan nilai-nilai hidup yang berbeda. Bangsa Israel harus bergaul dan hidup bersama dengan orang-orang Kanaan, namun haruslah berbeda dengan mereka. Dalam hidup bersama itulah, amatlah tidak mungkin untuk tidak terpengaruh oleh kondisi hidup yang ada. Ya, sangatlah mungkin bangsa Israel terpengaruh oleh cara-cara dan nilai-nilai hidup orang-orang Kanaan. Jika berkembang model pakaian terbaru pada masyarakat kanaan, ya merekapun bisa mengikutinya. Jika berkembang teknologi baru dalam masyarakat Kanaan, ya tidak ada salahnya untuk ikut menggunakannya. Itu tidak masalah bagi Tuhan. Namun akan menjadi masalah, jika orang-orang Israel berbalik dan berpaut kepada apa yang ada di sekitarnya, yakni menggantungkan diri, mengikatkan diri sepenuhnya kepada norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat, dan bukan kepada TUHAN. Ikut arus, itu sangat mungkin terjadi tetapi hanya pada batas tertentu. Kita tidak boleh mengkhianati Tuhan demi memperoleh rasa aman, kesembuhan, jabatan atau keuntungan. Itu berarti kita sudah melanggar batas. Itulah sebabnya, Yosua menasihatkan agar umat berpaut kepada Tuhan semata, bahkan mereka haruslah tetap mengasihi TUHAN (Eka Darmaputera, Iman & Tantangan Jaman, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2004, p. 46-47).
Lewis Seymour Mudge dalam bukunya yang berjudul “The Church as Moral Community”, mengatakan bahwa kita tidak boleh terjebak pada keadaan dunia ini yang telah jatuh ke dalam dosa. Tetapi kita harus ingat pada “missio dei” sebagai panggilan hidup beriman. Kita dipanggil untuk menjadi “role model”, yang mampu memberikan kontribusi positif bagi terciptanya perubahan-perubahan demi perwujudan “Shalom Allah di bumi ini”.

0 komentar:

About This Blog

  © Free Blogger Templates Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP