HIDUP MATI ADALAH MILIK TUHAN

>> Minggu, 09 Agustus 2009

Ayub 1 : 1 - 22

• Apa yang menjadi sikap kita manakala dalam hidup terjadi secara mendadak pengalaman pahit yang kita sendiri tidak menginginkannya ? Sikap awal, mungkin kita menolak kenyataan. Kita marah dan jengkel. Kita menjadi orang yang memprotes habis-habisan kedaulatan Allah. Kita menghakimi Allah dengan pernyataan-pernyataan keras kepada-Nya.

• Hidup dan mati adalah milik Tuhan. Hidup ini sebenarnya anugerah Allah, titipan Allah sendiri. Penghayatan ini harus kita miliki dalam hidup. Tanpa penghayatan demikian, kita akan menutup diri dari kenyataan bahwa apapun yang terjadi Allah menuntun hidup kita. Bukan Allah yang menjauh. Artinya, seringkali perasaan sedih, jengkel, tidak senang, benci, tidak menerima dan sebagainya justru dapat menghalangi kita merasakan pertolongan Tuhan yang sesungguhnya.

• Mengenai Ayub, kita tahu jalan hidupnya melalui kisah yang dituturkan oleh Alkitab. Di sana disebutkan, bahwa Ayub adalah orang yang saleh. Hal ini nampak dalam kebiasaannya untuk mempersembahkan korban bakaran bagi anak-anaknya. Oleh karenanya, ia juga digolongkan sebagai seorang yang taat melakukan apa yang harus dilakukan sebagai orang yang beragama. Mungkin hal ini tidak sulit dilakukannya, sebab dia adalah seorang yang terkaya dari semua orang di sebelah Timur. Tepatnya, kita tidak tahu persis karena Alkitab sangat terbatas dalam menjelaskannya. Namun itu bukan inti permasalahan. Yang menjadi inti permasalahan adalah keadaan yang berubah secara drastis yang harus dialaminya. Satu persatu, harta miliknya habis dijarah. Sekalipun secara manusia, keadaan ini cukup untuk membuat orang menjadi shok dan kaget, namun keadaan itu belum seberapa seperti yang Ayub alami. Sebab, tidak berapa lama, ia juga mendengar kabar bahwa anak-anaknya pun mati terbunuh. Belum lagi ia mengerti dan memahami apa yang sedang terjadi, ia sendiri harus menerima kenyataannya bahwa dirinya diterpa penyakit kusta. Tentu saja, ia dijauhi dan dikucilkan oleh orang-orang sekitarnya. Sungguh amat memprihatinkan, sebab ketika kaya, bisa jadi dia adalah orang yang selalu dikunjungi banyak orang (minta tolong, mencari perhatiannya dan sebagainya). Kini, setelah menjadi miskin dan menderita, ia justru dijauhi oleh mereka. Dan penderitaannya tidak hanya itu, ia juga ditinggalkan oleh istri, yang sebenarnya diharapkan dapat memberikannya kekuatan dan penghiburan manakala ia menderita sekian banyak cobaan tersebut. Penderitaan Ayub lengkap sudah : harta benda, anak-anaknya, penyakit, istri yang meninggalkannya dan ia benar-benar dalam keadaan sendiri karena dikucilkan. Secara manusiawi, ia biasa saja memohon untuk mati saja daripada hidup susah begini.

• Namun herannya, terhadap semua peristiwa yang ia hadapi itu, Ayub justru berkata, “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan !” Pertanyaan kita, mengapa ia bisa berkata demikian ? Apakah hanya sekedar ia menghibur diri terhadap semua yang terjadi ? Atau justru itu merupakan ungkapan imannya yang sungguh-sungguh terhadap keadaannya baik hidup maupun mati ?

• Pertama-tama, ia belajar untuk menerima kenyataan yang sedang terjadi. Sekalipun disadari, bahwa apa yang terjadi amat sangat membuatnya menderita dan terpukul, tetapi Ayub justru menyerahkan semuanya kepada Allah. Memang proses ini tidak langsung jadi saat itu juga. Kalau kita perhatikan, ia juga protes kepada Allah. Terlebih ketika teman-temannya menuduhnya telah berdosa (Pandangan orang-orang saat itu menyatakan, bahwa bila seseorang menderita, ini selalu ada kaitannya dengan dosa tertentu yang dilakukan oleh orang tersebut. Padahal, hal itu tidak seharusnya demikian). Ia berontak… Ia merasa tidak puas mengapa ia dituduh dan ditekan demikian. Ia menjadi orang yang berkeras hati. Ini membuatnya menjadi orang yang tinggi hati. Namun dalam proses itu, Ayub sungguh mengalami perubahan hidup yang sangat berarti. Ia berani menerima kenyataan pahit itu dan ia berani memulai sesuatu yang baru dengan hati yang lapang dada.

• Kedua, ia mengalami sendiri Allah dalam hidupnya. Mungkin kita mengenal Allah hanya sebatas pengetahuan saja. Mungkin kita mengenal Allah sebatas apa yang pernah disampaikan oleh orang lain, bahwa Allah itu ini dan itu. Tetapi mampukah seseorang mengatakan hal yang sama ketika ia mengalami penderitaan seperti Ayub ? Ini yang penting. Bisa jadi, orang merasa terpukul dan tidak mau lagi percaya kepada kemahakuasaan Tuhan. Bisa jadi, orang malah berbalik dari-Nya dan membenci Allah. Berbeda dengan Ayub, sekalipun ia mengalami penderitaan hidup sedemikian berat, ia justru merasakan kehadiran dan mengenal Allah secara pribadi. Mengapa ? Sebab ia bergumul di dalam Tuhan. Ia tidak lari dari kenyataan. Ia berani menghadapi kehidupannya yang pahit bersama Allah. Di situlah ia belajar mengenal Allah. Dan benar, belajar mengenal Allah tidak sebatas pengetahuan saja. Tidak juga hanya menurut perkataan oang saja, tetapi ia sendiri menghayati di dalam hidupnya sendiri (Ayub 42 : 5).

• Dengan mengenal Allah demikian, ia menjadi orang yang rendah hati. Ia bersyukur atas apa yang dialaminya itu. Ternyata, ada hikmat di balik semuanya itu.

0 komentar:

About This Blog

  © Free Blogger Templates Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP