BELAJAR BERPENGHARAPAN

>> Kamis, 10 September 2009

Kisah Rasul 27 : 14 – 44, Roma 8 : 28

Saudara-saudara yang terkasih dalam Tuhan Yesus Kristus,
Ada seorang yang selalu mempunyai jawaban atas kejadian yang menimpa dirinya. Suatu hari, ia terlihat berjalan terpincang-pincang. Rekannya bertanya, “Apa yang terjadi ?” Dia menjawab, “Kemarin, saya mendapat kecelakaan. Saya ditabrak angkot. Tapi, untunglah cuma kaki kiri yang terluka.” Rekannya ini sedikit usil dan berkata, “Kamu sih nggak hati-hati. Coba kamu bayangkan, jika angkot itu membuat kedua kakimu cacat sehingga tidak bisa digunakan lagi ?” Orang itu menjawab, “Memang repot juga sih. Tapi kenapa bingung, khan aku masih punya kedua tanganku untuk bekerja.” Rekannya ini sangat keheranan melihat sikap temannya yang selalu mengatakan beruntung walau dirinya cacat, sehingga ia bertanya lagi, “Bagaimana kalau kecelakaan itu membuat kaki dan tanganmu cacat semuanya ?” Ia berkata dengan yakin, “Memang aku akan menjadi orang cacat. Tapi aku masih beruntung tidak mati...?” Kalaupun misalnya orang itu mati dengan luka yang mengenaskan, orang sering berkata, “Tapi syukur dia mati, tidak perlu menderita terlalu lama.…”

Ilustrasi tersebut masih sering kita jumpai pada sikap kebanyakan orang. Mereka masih memiliki pengharapan walaupun berada di tengah penderitaan dan kesesakan. Hal ini tentu saja amat baik. Ia selalu melihat peristiwa yang menyesakkannya dari sisi positifnya (baik) dan tidak dari sisi negatifnya (buruk). Hanya saja, pandangan iman Kristen menganggap hal itu masih belum cukup. Artinya, bukan oleh karena kita tidak mengalami hal yang lebih buruk sehingga kita tetap memiliki pengharapan, tetapi oleh karena kita tetap memiliki keyakinan dan iman, bahwa segala sesuatu akan mendatangkan yang lebih baik. Seorang pengangguran, misalnya, tetap berusaha mencari pekerjaan sekalipun kemungkinannya semakin kecil di tengah persaingan yang begitu berat saat ini; Seorang karyawan misalnya, merasa tetap bersyukur sekalipun gajinya kurang dari mencukupi di tengah kenaikan harga barang-barang pokok yang terus melambung tinggi; Atau, seorang pasien, misalnya, rela membayar biaya yang begitu mahal untuk menjalani operasi.

Dengan demikian, pengharapan merupakan hal yang mutlak dimiliki oleh setiap orang. Tanpa pengharapan, ia ibarat laksana buih yang dipermainkan oleh gelombang lautan, sehingga centang-perenang dihajar gelombang. Ia ibarat pohon eceng gondok yang tidak punya dasar pijakan hidup karena mengambang di permukaan air. Padahal kita tahu, hidup manusia itu lemah dan tanpa daya. Alkitab menggambarkan hidup manusia seperti rumput, di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu (Mazmur 90 : 5 – 6) dan debu (Mazmur 103 : 14b). Hidup manusia penuh dengan berbagai hal yang melemahkan dan menghancurkan. Bahkan kita sendiri tidak pernah tahu kapan kita akan menjadi lisut dan layu, baik karena ulah pihak lain, sebagai akibat dari tindakan kita sendiri atau sesuatu hal yang tidak pernah kita tahu apa sebabnya. Keadaan seperti itu mudah membawa manusia kepada kekecewaan dan keputus-asaan. Dan menurut Chrysostomos, bapa gereja abad ke-4 menulis, “Yang membinasakan kita bukanlah dosa, melainkan keputus-asaan.”

Betapa pentingnya sikap berpengharapan dalam hidup kita. Namun persoalannya adalah bagaimana kita belajar untuk tetap memiliki pengharapan itu ? Sebab kita sadar, bahwa tidak ada seorang pun yang dapat dengan pasti mengetahui dengan jelas apa yang akan terjadi dalam kehidupannya; bahwa tidak ada seorangpun yang tahu dengan pasti dan jelas apa dan bagaimana masa depannya ? Apa yang ada di depan kita hanyalah samar-samar…. (bdk. I Korintus 13 : 12) Belajar tetap berpengharapan merupakan sesuatu hal yang sering menjadi persoalan dalam hidup beriman kepada Tuhan Yesus. Sebab di situlah iman kita benar-benar diuji. Dalam rangka inilah, kita akan belajar tentang hidup berpengharapan dari salah satu sketsa hidup rasul Paulus, yang saat itu sudah menjadi tawanan tentara Romawi dan akan diadili di Roma, suatu kota yang selalu menjadi impiannya untuk disinggahi.

Saudara-saudara yang terkasih dalam Tuhan Yesus Kristus,
Dalam pelayaran menuju Roma (Italia), kapal yang ditumpangi Paulus terkandas. Akibatnya seluruh penumpang, termasuk Paulus di hadapkan pada bahaya, yang setiap saat dapat merenggut nyawa mereka. Mereka merasa ketakutan yang amat besar. Dalam kondisi seperti itu, mungkin mereka bertanya-tanya dalam hati, apakah pengalaman ini menjadi suatu akhir dari petualangan hidup para penumpangnya, termasuk juga Paulus dalam menjalankan tugasnya untuk mengabarkan Injil. Suatu hal yang penuh tanda tanya, namun “masa depan” itu terlihat suram dan menyakitkan. Apakah hidup mereka harus berakhir dengan cara seperti itu ? Kita tahu, bahwa tidak ada seorang pun yang bermimpi hal itu terjadi dalam kehidupannya. Namun sekali lagi, apakah dengan terkandasnya kapal yang mereka tumpangi merupakan tanda bahwa inilah bagian hidup terakhir dari seluruh petualangan hidup kita ? Tidak ada seorang pun yang tahu.
Dalam kondisi itu, setiap usaha dilakukan dengan sekuat tenaga. Mereka membiarkan dirinya terus terombang-ambing oleh angin badai “Timur Laut” yang begitu hebat berhembus dan tanpa henti. Mereka pun membuang muatan dan alat-alat kapal agar tetap selamat. Berhasilkah mereka ? Ternyata tidak ! Badai itu semakin hebat menerpa, dan hal ini menyebabkan keputus-asaan yang mendalam. Tiada harapan, itu pikir mereka.

Kondisi ini mirip kehidupan kita semua. Ketika badai hidup terus menerpa dan tiada henti, kita pun merasa putus asa dan kehilangan harapan bila seluruh usaha dirasakan gagal. Habislah sudah ! Inilah akhir hidup kita ! Dalam keadaan tanpa harapan, bisa saja kita menjadi orang yang menyalahkan diri sendiri, tenggelam dalam penyesalan yang tiada habisnya, dan akhirnya hidup kita berakhir tanpa memiliki makna hidup apa-apa; bisa jadi pula orang-orang yang hidup dalam pengharapan saling menyalahkan satu terhadap yang lain sehingga keadaan tidak menjadi lebih baik. Sekalipun Paulus berkata, “Saudara-saudara, jika sekiranya nasihatku dituruti, supaya kita jangan berlayar dari Kreta, kita pasti terpelihara dari kesukaran dan kerugian ini !” (Ayat 21b), hal itu tidak dapat mengubah situasi genting yang sedang dihadapi seluruh penumpang di kapal itu. Bahaya itu tetap ada di depan mata, sedangkan mereka masih belum memiliki sikap yang jelas terhadap kondisi yang dihadapinya. Kalimat selanjutnya yang diucapkan Paulus justru memberikan kekuatan. Ia menerima penglihatan akan keselamatan seluruh penumpangnya (ayat 24). Di situlah Paulus menasihatkan : “Sebab itu tabahkanlah hatimu, saudara-saudara ! Karena aku percaya kepada Allah….” (ayat 25a)

Percaya atau beriman, seperti yang dikatakan Paulus, harus menjadi pilihan setiap orang. Ini harus menjadi langkah awal, terlebih ketika keadaan bahaya sedang mengancam. Setiap orang harus percaya bahwa Allah akan bertindak sesuai kehendak-Nya. Allah yang seperti apa yang kita yakini ? Allah sebagai kekuatan yang menolong dan menyelamatkan ? Tidak cukup dengan mengetahui bahwa Allah itu sebagai ini dan itu ! Namun kita harus benar-benar meyakini akan kuasa-Nya yang bekerja dalam hidup kita (Roma 8 : 28). Inilah yang harus kita yakini sungguh-sungguh ! Sebab dengan meyakini Allah sebagai pribadi yang bekerja dalam hidup kita, maka :

1. Kita tidak perlu bertanya-tanya mengapa kejadian yang tidak menyenangkan terjadi pada diri kita. Sebab pertanyaan-pertanyaan itu, sekalipun kita mendapat jawabannya, tetap saja tidak pernah memberikan kepuasan. Dari pertanyaan yang satu akan muncul pertanyaan yang lainnya dan seterusnya begitu, dan kita tetap saja berada dalam keputus-asaan, bahkan bisa jadi terus tenggelam di dalamnya. Sebaliknya, dengan menaruh keyakinan pada Tuhan, maka itu berarti kita belajar untuk menaruhkan hidup kita sepenuhnya pada rencana dan kehendak Tuhan. Sebab kita tidak pernah akan tahu mengapa semua ini terjadi. Yang kita ketahui adalah, apakah kita senang/sedih, sukses/gagal, bahagia/kecewa; hidup kita tidak ada di tengah nasib yang tanpa tujuan. Tapi di tangan Allah, yang turut bekerja dalam segala sesuatu, dan akan mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi-Nya (Roma 8 : 28).
2. Kita tidak perlu bertanya-tanya “bagaimana” Allah akan bekerja atas semua peristiwa yang dialami oleh manusia. Sebab kita sering tidak pernah tahu. Kita memang tidak melihat Dia. Yang perlu kita ketahui, bahwa Allah tidak akan tinggal diam. Ia akan bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi manusia. Kebaikan menurut siapa ? Tentunya bukan menurut ukuran manusia, tetapi ukuran kehendak Tuhan yang penuh kasih. Paulus berkata demikian : “Tetapi dalam semuanya itu kita lebih daripada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita. Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup...atau kuasa-kuasa, baik yang di atas maupun yang di bawah, ataupun sesuatu mahluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” (Roma 8 : 37 - 39) Tidak ada kekuatan apapun di dunia ini yang mampu memisahkan kita dari kasih Allah, sebab kasih Allah itu tetap untuk selama-lamanya dan tidak pernah berhenti.

Dengan iman, kita dapat “melihat” keadaan buruk dan genting dari sisi baiknya, yakni hidup kita berada di tangan Tuhan. Namun kita harus tahu pula, bahwa dengan tetap menaruh rasa percaya, itu bukan berarti menghilangkan situasi bahaya yang sedang dihadapi. Sebaliknya, dengan iman, kita dapat melanjutkan perjalanan yang berat itu dengan kekuatan baru…..

Buktinya, badai itu masih menerpa dan terus menerpa. Hanya saja, kini mereka telah menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Mereka dapat terus berjalan di tengah badai itu dengan kekuatan baru, sehingga mereka dapat melakukan hal yang lebih baik dan bersikap hati-hati. Mereka dapat mengukur kedalaman laut dan mereka pun dapat membuang sauh untuk mengindahr dari bahaya yang lebih besar, yakni kapal yang menghantam batu karang. Namun di antara mereka yang tidak memiliki keyakinan, mereka ingin segera mengakhiri hidupnya dengan menceburkan diri ke laut. Sebab pikir mereka, di depan sudah tidak ada harapan apa-apa untuk dijadikan pijakan. Bagi sementara yang memiliki iman, mereka tetap bertahan dan terus bertahan, sampai akhirnya kehendak Tuhan dinyatakan.

0 komentar:

About This Blog

  © Free Blogger Templates Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP